oleh :
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
MUHAMMAD
ABDUH
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi
pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari
Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam
kategori
pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan
wujud ideal Islam, seorang
guru dan pendidik.
Kemudian sejak
masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa
keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai
pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama
Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
Pemikiran pendidikan Islam adalah
serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat
berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam.
Muhammad
‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat
mengakuinya, bahkan pandangannya
sering
dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi,
dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah
Islam, termasuk Mesir. Pada masa Muhammad
‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan
pembaharuan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan
nilai-nilai Timur dan Islam.
Muhammad
‘Abduh termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di berbagai bidang, terutama pendidikan. Pendidikan bagi Muhammad ‘Abduh
sangatlah penting, sampai-sampai ia memposisikan gurunya lebih
"mulia" dari orang tuanya.
Beliau
pernah berucap, "Orang tuaku memberikan aku dua orang teman (saudara)
hidup: Ali dan Mahrus. Sedangkan guruku Jamaluddin al-Afghani memberikan
"teman" hidup: Muhammad SAW., Ibrahim, Musa, Isa, para wali, dan
orang-orang suci."
B. Riwayat Hidup Muhammad ‘Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan
Khairullah. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit,
provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1849 M./1266 H. Ayahnya berasal dari
Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya adalah orang Arab,
yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra.
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai
dengan belajar
menulis dan membaca di rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun
1863 ayahnya mengirimnya ke Thamta
untuk meluruskan bacaan
dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai
yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh
akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh
menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad
dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah.
Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu
dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita
meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin
mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi
masyarakat tempat Muhammad ‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku,
menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal dalam memahami
syari'at. Sementara, di Eropa khususnya, kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih setelah penemuan-penemuan ilmiah yang
sangat mengagumkan ketika itu.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya
menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang
ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad
‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas
studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif
memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di
negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh
memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki
dunia aktivisme sosio-politik. Muhammad ‘Abduh bekerja sama dengan Afghani
untuk mengadakan pembaharuan
terhadap Islam melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa.
‘Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan
mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam
pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan
menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899
M.
Beliau meninggal
pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan
Alexandria,
membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh
mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan
atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam
spiritualnya.
II. PEMBAHASAN
KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ‘ABDUH
Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah
seorang reformis atau pembaharu pendidikan Islam. Sebagai
seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen
penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah
lama hilang. Muhammad
‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam
oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap
pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam
A.
Latar
belakang pemikiran pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Kemunduran
Islam
Muhammad ‘Abduh berpandangan bahwa
penyakit yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran
agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan
adanya tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa silam, kaum
Muslimin telah menghadapi kemunduran dan umat Islam tidak mendapatkan dirinya siap sedia untuk menghadapi situasi yang kritis ini.
Menurutnya, yang membawa kemunduran umat Islam
adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di
tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat
tidak mau menerima perubahan, yang
dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud ‘illatun
tazawwul). Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa
al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam
oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di
dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan pemakaian
akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal
ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah. Keadaan seperti ini, menurutnya adalah bid’ah. Masuknya bid’ah
ke dalam tubuh Islam-lah yang membawa umat lepas dari ajaran Islam yang
sesungguhnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul
Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di
zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan
Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli
itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan
keadaan modern sekarang ini.
Orientasi pembaharuan pendidikan
ala Barat
Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang
dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka
telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan pembaharuan dari
kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.
Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir,
ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama
di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir
untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris. Sementara di Kairo sendiri,
didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer, teknik, kedokteran, apoteker,
pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini
berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena
mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus
bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme
pendidikan di Mesir.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi
prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan
berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari
pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan
pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah
modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua
tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri
sendiri. Adanya
dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial
dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh
masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua
melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan
dari barat tanpa melakukan filterisasi.
B.
Pembaharuan
pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Salah satu proyek
terbesar Muhammad ‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu
sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi negatif
bentuk pemikiran yang muncul dan
ia
mengkritik kedua corak lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir saat itu.
‘Abduh memandang bahwa jika
pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam
tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Sementara pola fikir yang
kedua, Muhammad ‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari
barat tanpa
nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul Ide untuk menyelaraskan atau
memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling menopang demi
untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah
antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Dalam
upayanya membenahi sitem pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh
mengadopsi pemikiran teman sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode
–metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang
berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti
yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.
Muhammad ‘Abduh juga tidak
segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan
pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot.
Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan
sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang
pendidikan dunia Islam
Gibb melalui Modern Trends in Islam menjelaskan
bahwa menurut Muhammad ‘Abduh ada empat
agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1.
Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam mendapat
perhatian serius dari Muhammad
‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah dan khurafat yang masuk
dalam kehidupan beragama umat Islam.
2.
Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam mereformasi
pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, Al-Azhar.
Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku
klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan
tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern,
serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah
mereka capai.
Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah
memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar
filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup
kembali.
3.
Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah
Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk
menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan
kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada
paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk
memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4.
Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh
dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam
disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam
sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan
akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam
keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh
untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara
porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan
ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama
kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk
mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas
usahanya
tersebut,
maka didirikanlah
suatu lembaga yakni “Majlis
Pendidikan Tinggi”.
Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama
yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat
ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus
dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat
Barat. Karena jika Islam
ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun dalam
ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan
Langkah-langkah
memberdayakan sistem Islam untuk mengejar ketertinggalan
dan memperkecil dualisme pendidikan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh
antara lain:
a. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Dalam memberdayakan pendidikan Islam, Muhammad ‘Abduh
menetapkan tujuan pendidikan Islam yang dirumuskannya yakni : mendidik akal dan jiwa serta
menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat
dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad ‘Abduh adalah tujuan yang
mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Jadi
adanya keseimbangan antara akal dan spritual.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk
menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk - antara membawa kemaslahatan dan
kemudaratan. Dengan hal ini, ia berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat
terkikis. Baginya, perbuatan manusia bertolak dari
konklusi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan.
Dalam Risalah Tauhid-nya, ia menjelaskan bahwa
yang mendukung suatu perbuatan manusia adalah akal, kemauan dan
daya. Penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan
dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis,
tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap
yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan.
Menurutnya, apabila kedua aspek tersebut dididik dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama,
maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi
bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.
b. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam
Yang Integral
Sistem pendidikan yang
di perjuangkan oleh Muhammad ‘Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang
bukan impor,
dimana mencakup pendidikan
universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki
kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung serta pendidikan agama.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, maka ‘Abduh membentuk seperangkat
kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai tingkat atas.
1.
Tingkat
Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama
hendaknya dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata
pelajaran agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini
mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa
dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia - khususnya rakyat Mesir pada waktu
itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan
sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
- Tingkat
Atas
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan ‘Abduh adalah dengan mendirikan
sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan, seperti
administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian, dll. Melalui lembaga pendidikan ini, ia merasa perlu memasukkan materi
pelajaran agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Di madrasah-madrasah yang
berada dalam naungan Al-Azhar, ia memasukkan pelajaran mantik, falsafah, dan tauhid. Sebelumnya, Al-Azhar menganggap pelajaran
falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari.
Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu
Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Arabiah.
Kurikulum tingkat ini meliputi, antara lain:
1.
Buku yang memberikan pengantar
pengetahuan, seni logika,
prinsip penalaran.
2.
Teks tentang doktrin, yang
menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam
upaya menghindarkan konflik, dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk
kehidupan di dunia dan akherat.
3.
Teks yang menjelaskan mana yang benar
dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin.
4.
Teks sejarah yang meliputi berbagai
penaklukan dan penyebaran Islam.
Sementara untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu
orientasi untuk guru
dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang
mencakup :
(1) tafsir
al-Qur’an (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab (3) ilmu hadis (4) studi moralitas
(etika) (5) prinsip-prinsip fiqh (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7)
teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
Kurikulum tersebut
merupakan gambaran umum dari kurikulum yang diberikan pada setiap jenjang
pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan, ia menghendaki - bahwa dengan kurikulum
tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyaraka, seperti kelompok awam
dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah & militer serta kelompok
masyarakat golongan pendidik. Langkah ini merupakan metode Muhammad ‘Abduh dalam mencoba menghilangkan
jarak dualisme dalam pendidikan.
Pembaharuan Universitas Al-Azhar
Al-Azhar mulai
dikenal pada masa dinasti Fatimiyah menguasai Mesir. Tepatnya pada tahun 359 H/970 M, Khalifah al-Muiz Lidinillah (341 – 365 H / 953 – 975 M) memerintahkan panglima Jauhar al-Katib as-Siqili agar meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami’ Al-Azhar yang selesai
pembangunannya pada tahun 361 H / 971 M.
Semula ide para penguasa daulah Fatimiyah untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar di Al-Azhar
adalah karena dorongan kepentingan madzhab, namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga lembaga pendidikannya berubah
menjadi sebuah perguruan tinggi.
Pada masa Muhammad
‘Abduh berkarir di Al-Azhar, Universitas ini dikuasai oleh ulama-ulama konservatif yang membawa Al-Azhar terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan, dimana mereka lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supremasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain.
Kondisi Al-Azhar tersebut, menggugahnya untuk mengadakan
perubahan-perubahan. Ia meyakini bahwa apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi umat Islam akan baik - sehingga
Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi
kaum muslimin.
Usaha
Muhammad ‘Abduh memajukan
Universitas Al-Azhar antara lain:
- Memasukkan ilmu-ilmu
modern yang berkembang di Eropa kedalam Al-Azhar.
- Mengubah
sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan
menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
- Menghidupkan
metode munazaroh (discussion) sebelum mengarah ke taqlid
- Membuat
peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah
(komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks
pembelajaran) kepada mahasiswa empat tahun pertama.
- Masa
belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari
beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhammad ‘Abduh, meskipun belum sempat ia
aplikasikan sepenuhnya secara temporal, namun telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam. Pemikiran beliau tentang pendidikan dinilai sebagai
awal dari kebangkitan Islam diawal abad ke-20. Pemikiran yang kemudian
disebarluaskan melalui tulisannya di majalah al-Manar dan al-Urwat al-Wusqa
sempat menjadi rujukan para pembaharu di dunia Islam. Di berbagai Negara Islam muncul gagasan untuk mendirikan sekolah-sekolah
dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis oleh Muhammad ‘Abduh
KESIMPULAN
Muhammad
‘Abduh adalah sosok pembaharu Islam abad 19 / 20 yang mengusung rasionalitas dalam
beragama. Beliau ingin
menghilangkan kejumudan
dalam pendidikan dengan mendidik akal dan jiwa dengan harapan akan ada keseimbangan dalam hidup dan
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di samping
hidup berwibawa dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang
sesuai dengan ajaran syari'at. Untuk mencapai tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains
dan falsafah yang banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan
pelajaran-pelajaran yang bersifat agamis.
Pemikiran Muhammad
‘Abduh tentang pendidikan dinilai telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga
pendididkan Islam sehingga
dianggap sebagai awal dari kebangkitan Pendidikan Islam diawal abad ke-20.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet.
IX,
2. Suwito dan Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan. Bandung: Angkasa
3. http://muhammadmuslih06.blogspot.com/2013/02/pemikiran-muhammad-abduh-tentang.html akses 10 Juli 2013 21.06
4.
http://santrinulis.com/tulisanke-514-Pemikiran-Muhammad-Abduh-Tentang-Pendidikan-Islam.html akses 10 Juli 2013 21.20
5.
http://muharjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-Islam-muhammad.html akses 10 juli 2013 22.00
izin share n copy
BalasHapus