Laman

Selasa, 23 Juli 2013

Identitas dan riwayat hidup Al Ghazali

2.1 Identitas dan riwayat hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali, lahir pada tahun 45 H/1058 M di Thus, tepatnya di desa Gozaleh, Kotapraja Tabran.[1] Ia adalah seorang filosof, ahli ilmu kalam dan tasawuf serta ahli fiqih selain juga seorang pemikir besar dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sangat besar hingga hari ini.
Awal pertama beliau belajar agama pada waktu kecil, beliau menimba ilmu pada Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath Thusi Ar Radzkani seorang ulama terkenal sesuai ‎wasiat ayahnya sebelum meninggal dunia. Kemudian beliau pergi ke Nizabur untuk belajar di Madrasah Nizhamiyah pimpinan al Juwaini al Haramain yang bermadzab Syafi’i, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam. [2]
Karena kecakapannya dalam penguasaan ilmu, Al Ghazali oleh gurunya dikenalkan dengan Nizam Al Mulk, pendiri Madrasah Nizhamiyah. [3] Nizam Al-Mulk mengangkat al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Nizamiyah Bagdad dalam usia 34 tahun. Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang seperti fiqih, ilmu kalam dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah.[4] Penulisan berbagai karya ilmiah tersebut tidak mengurangi kesibukannya dalam mengajar dan meneliti.
Ia juga melakukan pembaharuan dalam Islam dan mengabdi pada masyarakat, termasuk mengeluarkan fatwa-fatwa secara umum dan memberikan sumbangan pemikiran politik pada pemerintah. Disini, ia meraih sukses gemilang, baik sebagai guru besar maupun sebagai konsultan hukum, dan harapan duniawinya tercapai sudah. Ia banyak dikunjungi orang untuk ditimba ilmunya dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya yang tiada tandingannya, sehingga ia bukan saja menjadi Imam Irak sesudah Imam Khurasan, tetapi juga Hujjat al-Islam (Argumen Islam) yang reputasi dan karismanya mengalahkan para gubernur, para menteri dan istana Khilafat sendiri.[5]
Disela-sela kesibukannya, ia juga mempelajari filsafat, sampai ia berhasil mendudukkan persoalan secara proporsional, yaitu mendeskripsikan realitas problem-problem filsafat dan pemecahannya dalam karya yang berjudul Maqashid al-Falasifah. Langkah selanjutnya adalah melakukan telaah dan bantahan terhadap konsep mereka yang dituangkan dalam kitab Tahafudh al-Falasifah. Ini semakin memperkokoh gelarnya sebagai Hujjat al-Islam. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Ta'limiyah, hal itu dikarenakan motif internal yakni, untuk menemukan ilmu yaqini, dan motif eksternal yakni, tugas dari khalifah untuk menyusun buku.[6]
Namun ia kecewa terhadap kenyataan, karena tidak berhasil menemukan ilmu yaqini. Maka kemudian ia jatuh sakit. Sakitnya tersebut dikarenakan faktor psikologis yang mendalam, sampai-sampai dokter tidak dapat mengobatinya. Maka kemudian ia meninggalkan Bagdad dengan berpura-pura menunaikan ibadah haji, dan menyerahkan pengajaran di Bagdad pada adiknya Ahmad.[7]
Al-Ghazali keluar dari Bagdad langsung menuju Damaskus, Syiria.[8] Dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.[9] Selama tinggal di Syiria inilah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya' Ulum al-Din.[10]
Al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof tasawuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya.[11] Akhirnya beliau berhasil menemukan hakikat yang dicarinya, yaitu tahap ilmu yaqini.
Setelah memperoleh ilmu al-yaqini, kemudian ia kembali ke Bagdad dan kembali mengajar di sana. Kitab pertama yang ia karang setelah ia kembali ke Bagdad adalah Munqiz min Al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan).[12]
Selain mengajar dan menjalani kehidupan sufi, al-Ghazali juga terus mendalami al-Qur'an dan Hadits, termasuk menekuni shahih Bukhari, shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, meskipun di masa lampau, ia sudah banyak mempelajari al Qur'an/tafsir dan Hadits.
Ia wafat pada hari senin 14 Jumadi Akhir 505/ 18 Desember 1111, dimakamkan di Tabaran, Tus.[13] Demikianlah yang dapat kita amati dan renungkan, bahwa al-Ghazali dilahirkan di Tus dan wafat juga di Tus, setelah ia melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu al-yaqini.

2.2 Pemikiran Al Ghazali secara umum
Sebagaimana disebutkan oleh Abidin Ibn Rusn, berkaitan dengan profesi sebagai pemikir, al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal 4 disiplin ilmu. Keempat disiplin ilmu tersebut ialah: ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf.[14]
Menurut penulis sendiri, awal mulanya sebelum mempelajari ilmu kalam, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari ilmu agama yang lebih mengarah pada persoalan fiqih atau kajian ilmu fiqih. Jadi al-Ghazali mengkaji 5 disiplin ilmu.
1.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu fiqih
Ketika al-Ghazali masih berguru kepada al-Juwaini, tokoh yang mengajarkannya fiqih dan kalam, dia sudah menulis karya cemerlang Al-Mankhul fi ilm al-Ushul, yang membahas metodologi dan teori hukum. Pada saat itu, ia diangkat sebagai asisten al-Juwaini dan terus mengajar di Nesapur hingga sang guru meninggal.[15]
Atas dasar inilah, maka menurut penulis al-Ghazali merupakan seorang faqih (ahli fiqih). Ia merupakan penganut fiqih Syafi'iyah, yang pada hakekatnya merupakan sintesis dari fiqih ahli hadits dan fiqih ahli ra'yi. Al-Ghazali tidak mendirikan madzhab sendiri, akan tetapi ia mengembangkan aliran fiqih yang dianutnya dengan didasarkan hadits dan pemikiran yang berkembang.
2.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu kalam (teolog)
Karena gurunya al-Juwaini juga merupakan teolog maka ia juga belajar ilmu kalam dari gurunya itu. Setelah ia matang dengan ilmu kalam, maka langkah selanjutnya adalah ia mendalami pemikiran kaum Mutakallimin dari berbagai macam aliran. Namun teologi yang dianut oleh al-Ghazali adalah Asy'ariyah.[16] Meskipun demikian al-Ghazali tidak menelan mentah-mentah aliran ini. Diantara ajaran aliran ini yang berbeda dengan pandangan al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abidin Ibn Rusn adalah taklid buta yang melekat pada dada pengikutnya.[17] Dalam pandangan al-Ghazali seseorang itu tidak boleh taklid secara membabi buta dalam masalah aqidah.
Contoh lagi adalah kaum Mu'tazilah yang dalam perkembangannya selalu mengandalkan rasio. Mereka selalu melindungi ajarannya dengan cara mengkaji filsafat Yunani untuk diambil teori-teorinya yang logis. Maka al-Ghazali mengkritik dan mengoreksi aliran ini. Ia berniat untuk mengembalikan aqidah umat Islam kepada aqidah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu filsafat (filosof)
Setelah beliau mendalami ilmu kalam, ternyata beliau banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam dari ‎pada manfaatnya. Ilmu ini lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang mempersulitdan menyesatkan daripada menguraikan secara jelas. Al-Ghazali menyatakan bahwa para teolog tidak mampu mencapai pengetahuan yang hakiki jika hanya menggunakan metode ilmu Kalam saja. karena akal manusia mengalami kesulitan untuk mengetahui sifat-sifat dan tindakan-tindakan Allah secara hakiki.
Oleh karena itu Al-Ghazali meninggalkan ilmu Kalam dan pindah mengajar ilmu filsafat. Sejumlah karya filsafat, terutama karya Ibn Sina, dibaca dan dikajinya dengan tekun.[18]Hingga ia menjadi seorang filosof dan memunculkan sebuah kitab yang berjudul Maqasid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof).
Pada bidang filsafat pun Al-Ghazali banyak menentang kecenderungan para filosof yang dipandang sangat membahayakan akidah, untuk meluruskan maka Al Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah(Kebingungan para filosof).[19]
DalamTahafudz al-Falasifah beliau menjelaskan bahwa tiga persoalan filsafat yang bisa menyebabkan kufur dan pengingkaran nash syar'i. Masalah tersebut adalah:
a.    Masalah alam kekal
b.    Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam
c.    Pembangkitan jasmani tidak ada.[20]
Menurut al-Ghazali, dalam berfilsafat orang harus mempertimbangkan dan berpikir dengan al-Qur'an dan hadits disamping menggunakan logikanya.
4.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu kebatinan
Setelah mendalami filsafat, Imam Al Ghazali melihat bahwa, ternyata filsafat tidak mampu menyingkap ilmu metafisik, bahkan banyak melahirkan kekacauan dalil.
Melihat hal ini, al-Ghazali tidak tinggal diam. Mula-mula al-Ghazali melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebatinan. Kemudian makalah-makalah yang telah mereka susun rapi dikajinya secara mendalam. Hasil penelitiannya disusun, kemudian dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga.[21]
Hal ini dilakukan oleh al-Ghazali dalam rangka mengembalikan dan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurutnya Imam yang ma'shum seperti yang dikatakan oleh pengikut aliran kebatinan hanyalah tokoh ideal yang ada dalam alam idea.
5.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu tasawuf
Setidaknya ada dua faktor yang ada pada sufisme, sehingga al-Ghazali tertarik untuk melaksanakannya.[22]Pertama, karena sufisme memiliki dua aspek esensial: teori dan praktek (ilmu dan amal). Seorang sufi tidak hanya mengerti apa arti hidup zuhud (asketis), tetapi dia betul-betul melaksanakan apa yang dimaksud dengan zuhud tersebut dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan ketiga golongan yang ditelitinya: ahli kalam, filsuf, dan bathiniyyah, karena ketiga golongan itu hanya mengutamakan salah satu aspek saja, yaitu dari aspek teoritis belaka.
Kedua, karena sufisme menawarkan suatu jenis pengetahuan yang langsung diterima oleh Allah bagi siapa saja yang melaksanakannya. Dengan daya tarik itu, al-Ghazali betul-betul berusaha melaksanakan kehidupan sufi secara nyata, setelah menguasai pengetahuan sufisme secara mendalam. Ia menjadi sufi yang berhasil. Ia sungguh-sungguh mengalami Allah yang bersabda dan memberikan pengetahuan yang menurutnya tak terhitung banyaknya.
Imam al-Ghazali dalam karyanya al-Munidz min adh-Dhalal mengatakan: “Banyak sekali rahasia dan misteri telah diungkapkan kepadaku dalam pengasingan dan penyendirianku (khalwat) bersama Allah.”[23] Keberhasilan sufi sendiri bukanlah melulu kehendak manusia. Al-Ghazali sendiri berkata bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia.[24] Jadi, sufisme di sini juga menjadi suatu bentuk tanggapan akan daya Allah yang mendorong manusia untuk semakin dekat dengan-Nya dan dengan demikian, manusia mendapatkan pengetahuan dari Allah yang lebih sempurna.
Al-Ghazali mengaku memperoleh keyakinan sampai ke tingkat keyakinan akan kebenaran yang bersifat matematis. Adanya keyakinan itu disebabkan karena adanya pengetahuan, yang dalam konsepsi al-Ghazali disebut:
a.    Ilmu “mukasyafah” (karena diperoleh melalui ‘terbukanya’ hijab antara hati dan Luh Mahfuzh;
b.    Ilmu “musyahadah” (karena diperoleh melalui penyaksian langsung dengan mata hati atau bashirah terhadap Luh Mahfuzh, sebagai sumber pengetahuan);
c.    Ilmu “al-bathin” (karena pengetahuan itu diperoleh melalui batin bukan lahir);
d.   “al-ma’rifah” (karena pengetahuan ini diterima langsung dari Allah tanpa belajar, dan dengan itu orang mengalami pengenalan hakiki mengenai Allah);
e.    “nur-ilahi” (karena berupa sinar pengetahuan Tuhan yang dicampakan-Nya ke dalam hati orang yang dikehendaki-Nya.
f.     “al-ilm al-khafi” (karena pengetahuan ini harus disembunyikan oleh orang-orang yang memperolehnya, kecuali terhadap orang yang juga mendapatkannya).[25]
Secara umum Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu:
1.    Ilmu fardhu 'ain.
Menurut Al-Ghazali: Ilmu yang fardhu ‘ain yaitu segala macam ilmu untuk mengenal Allah, mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui perkara ghaib, mengetahui cara beribadat, mengetahui halal dan haram, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan menjaga hati dan amalan hati, seperti sabar, ikhlas, dan sebagainya. Di sinilah lahir istilah-istilah ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.
2.    Ilmu fardhu kifâyah.
Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang perlu diketahui untuk keperluan dan keselarasan hidup di dunia. Tanpanya manusia menempuh kesusahan dan tidak dapat menyempurnakan tuntutan fardhu ‘ain.
Al-Ghazali menyebutkan:  "....bidang-bidang  ilmu  pengetahuan  yang  termasuk  fardhu  kifayah  ialah,  ilmu kedokteran, berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb.” [26]

2.3 Pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan Islam
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghozali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan. sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghozali yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan[27]:
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghozali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.
1.    Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemundaratan.
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku( Q.S. al-dzariat: 56)
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia.[28]
2.    Kurikulum pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan.
a.       Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)      Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma
b)      Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
c)      Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
d)     Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)      Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
a)      Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah,
      puisi.
c)      Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b.      Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
1)      Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2)      Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
3)      Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti dari sifat naturalisme.
c.       Berdasarkan setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat digolongkan kepada:
1.      fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2.      fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.[29]
3.      Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.
4.      Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
5.      Proses Pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.[30]

2.4 Relevansi dengan pendidikan Islam sekarang
Patut dibenarkan apa yang dikatakan ismail razi al-Faruqi bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusi-manusia produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor.
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan . untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran al-Ghazali bagi pengembangan dunia pendidika Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya. Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Tujuan Pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a.       Tercapainya kesempurnaan insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
b.      Kesempurnaan insane yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2.      Materi Pendidikan Islam
Imam ai-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu)dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik, juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ke tingkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dsb.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangat bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendidikan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3.      Metode Pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan
Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.


[1] Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti, (Jakarta: Narasi, 2008), 182.
[2] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 53.
[3]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 83.
[4] Mubin Ardiansyah, Epistemologi Menurut Al-Ghazali: Studi Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali, (Malang: Skripsi Tidak Diterbitkan, 2007),  72.
[5] Anwar, Filsafat Ilmu..., 57-58.
[6]Ibid., 59.
[7] Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, terj. Amrouni, (Jakarta: PT Riora Cipta, 2000),18-20.
[8] Anwar, Filsafat Ilmu...,64.
[9] Nata, Pemikiran Para Tokoh...., 84.
[10] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), 268.
[11] Nata, Pemikiran Para Tokoh...., 84.
[12]Ibid., 84
[13] Anwar, Filsafat Ilmu…, 68-69.
[14] Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),13.
[15] Sabrur R Roenardi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer Sibawaihi, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), 40.
[16] Ini karena ia belajar dari gurunya al Juwaini dan al Juwaini adalah seorang penganut aliran Asy'ariyah.
[17]Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali…, 14.
[18]Ibid., 16.
[19]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 81.
[20] Maftuhin, Diktat Pengantar Filsafat Islam, (Tulungagung: Tidak Diterbitkan, 2001), 68.
[21]Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali…, 20.
[22] Zurhani Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 212.
[23] Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung:Pustaka Hidayah,1996), 38.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandungan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,2002), 111
[25] Jahja, Teologi Al-Ghazali…, 240.
[26]http://pendislami.tripod.com/klasifikasi_ilmu.htm,Pembagian Ilmu dalam Pendidikan Islam, diakses tanggal 23 April 2010. Untuk lebih jelasnya lihat juga di Imam Al-Ghazali, Ihya'u Ulum al-Dien, (Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, t.t.), 19.
[27]. Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548, Yogyakarta), 54.
[28] Prof. Dr. H Ramayulis, Dr. H, Nizar Samsul, M.A, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Quantum Teaching, Ciputat, 2005), 5

[29] Ibid, 9
[30] Ibid, 14


Tidak ada komentar:

Posting Komentar