2.1 Identitas
dan riwayat hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali, lahir pada tahun 45 H/1058 M di
Thus, tepatnya di desa Gozaleh, Kotapraja Tabran.[1] Ia adalah
seorang filosof, ahli ilmu kalam dan tasawuf serta ahli fiqih selain juga
seorang pemikir besar dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sangat besar hingga
hari ini.
Awal pertama beliau belajar agama pada
waktu kecil, beliau menimba ilmu pada Abu Hamid Ahmad Ibn
Muhammad Ath Thusi Ar Radzkani seorang ulama terkenal sesuai wasiat ayahnya
sebelum meninggal dunia. Kemudian beliau pergi ke Nizabur untuk belajar di
Madrasah Nizhamiyah pimpinan al Juwaini al Haramain yang bermadzab Syafi’i,
yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di
dunia Islam. [2]
Karena kecakapannya dalam penguasaan
ilmu, Al Ghazali oleh gurunya dikenalkan dengan Nizam Al Mulk, pendiri Madrasah
Nizhamiyah. [3] Nizam Al-Mulk mengangkat al-Ghazali menjadi
guru besar sekaligus Rektor Nizamiyah Bagdad dalam usia 34 tahun. Selama
menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang
seperti fiqih, ilmu kalam dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran
kebatinan, Ismailiyah.[4]
Penulisan berbagai karya ilmiah tersebut tidak mengurangi kesibukannya dalam
mengajar dan meneliti.
Ia juga melakukan pembaharuan
dalam Islam dan mengabdi pada masyarakat, termasuk mengeluarkan fatwa-fatwa
secara umum dan memberikan sumbangan pemikiran politik pada pemerintah. Disini,
ia meraih sukses gemilang, baik sebagai guru besar maupun sebagai konsultan
hukum, dan harapan duniawinya tercapai sudah. Ia banyak dikunjungi orang untuk
ditimba ilmunya dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya yang tiada
tandingannya, sehingga ia bukan saja menjadi Imam Irak sesudah Imam Khurasan,
tetapi juga Hujjat al-Islam (Argumen Islam) yang reputasi dan karismanya
mengalahkan para gubernur, para menteri dan istana Khilafat sendiri.[5]
Disela-sela kesibukannya, ia juga
mempelajari filsafat, sampai ia berhasil mendudukkan persoalan secara
proporsional, yaitu mendeskripsikan realitas problem-problem filsafat dan
pemecahannya dalam karya yang berjudul Maqashid al-Falasifah. Langkah
selanjutnya adalah melakukan telaah dan bantahan terhadap konsep mereka yang
dituangkan dalam kitab Tahafudh al-Falasifah. Ini semakin memperkokoh
gelarnya sebagai Hujjat al-Islam. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya
kepada Ta'limiyah, hal itu dikarenakan motif internal yakni, untuk
menemukan ilmu yaqini, dan motif eksternal yakni, tugas dari khalifah
untuk menyusun buku.[6]
Namun ia kecewa terhadap kenyataan,
karena tidak berhasil menemukan ilmu yaqini. Maka kemudian ia jatuh
sakit. Sakitnya tersebut dikarenakan faktor psikologis yang mendalam,
sampai-sampai dokter tidak dapat mengobatinya. Maka kemudian ia meninggalkan
Bagdad dengan berpura-pura menunaikan ibadah haji, dan menyerahkan pengajaran
di Bagdad pada adiknya Ahmad.[7]
Al-Ghazali keluar dari Bagdad langsung
menuju Damaskus, Syiria.[8]
Dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi
barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan
hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.[9]
Selama tinggal di Syiria inilah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya'
Ulum al-Din.[10]
Al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan
persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan,
sehingga beliau menjadi seorang filosof tasawuf pertama kali dan seorang
pembela agama Islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol di
zamannya.[11]
Akhirnya beliau berhasil menemukan hakikat yang dicarinya, yaitu tahap ilmu yaqini.
Setelah memperoleh ilmu al-yaqini, kemudian
ia kembali ke Bagdad dan kembali mengajar di sana. Kitab pertama yang ia karang
setelah ia kembali ke Bagdad adalah Munqiz min Al-Dalal (Penyelamat dari
Kesesatan).[12]
Selain mengajar dan menjalani kehidupan
sufi, al-Ghazali juga terus mendalami al-Qur'an dan Hadits, termasuk menekuni shahih
Bukhari, shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, meskipun di masa lampau, ia
sudah banyak mempelajari al Qur'an/tafsir dan Hadits.
Ia wafat pada hari senin 14 Jumadi
Akhir 505/ 18 Desember 1111, dimakamkan di Tabaran, Tus.[13]
Demikianlah yang dapat kita amati dan renungkan, bahwa al-Ghazali dilahirkan di
Tus dan wafat juga di Tus, setelah ia melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu
al-yaqini.
2.2 Pemikiran Al Ghazali secara umum
Sebagaimana disebutkan oleh Abidin Ibn
Rusn, berkaitan dengan profesi sebagai pemikir, al-Ghazali telah mengkaji
secara mendalam dan kronologis minimal 4 disiplin ilmu. Keempat disiplin ilmu
tersebut ialah: ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf.[14]
Menurut penulis sendiri, awal mulanya
sebelum mempelajari ilmu kalam, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari ilmu
agama yang lebih mengarah pada persoalan fiqih atau kajian ilmu fiqih. Jadi
al-Ghazali mengkaji 5 disiplin ilmu.
1.
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli ilmu fiqih
Ketika al-Ghazali
masih berguru kepada al-Juwaini, tokoh yang mengajarkannya fiqih dan kalam, dia
sudah menulis karya cemerlang Al-Mankhul fi ilm al-Ushul, yang membahas
metodologi dan teori hukum. Pada saat itu, ia diangkat sebagai asisten
al-Juwaini dan terus mengajar di Nesapur hingga sang guru meninggal.[15]
Atas dasar inilah, maka menurut penulis
al-Ghazali merupakan seorang faqih (ahli fiqih). Ia merupakan penganut
fiqih Syafi'iyah, yang pada hakekatnya merupakan sintesis dari fiqih ahli
hadits dan fiqih ahli ra'yi. Al-Ghazali tidak mendirikan madzhab
sendiri, akan tetapi ia mengembangkan aliran fiqih yang dianutnya dengan
didasarkan hadits dan pemikiran yang berkembang.
2.
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli ilmu kalam (teolog)
Karena gurunya al-Juwaini juga
merupakan teolog maka ia juga belajar ilmu kalam dari gurunya itu. Setelah ia
matang dengan ilmu kalam, maka langkah selanjutnya adalah ia mendalami
pemikiran kaum Mutakallimin dari berbagai macam aliran. Namun teologi yang
dianut oleh al-Ghazali adalah Asy'ariyah.[16]
Meskipun demikian al-Ghazali tidak menelan mentah-mentah aliran ini. Diantara
ajaran aliran ini yang berbeda dengan pandangan al-Ghazali, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abidin Ibn Rusn adalah taklid buta yang melekat pada dada
pengikutnya.[17]
Dalam pandangan al-Ghazali seseorang itu tidak boleh taklid secara membabi buta
dalam masalah aqidah.
Contoh lagi adalah kaum Mu'tazilah yang
dalam perkembangannya selalu mengandalkan rasio. Mereka selalu melindungi
ajarannya dengan cara mengkaji filsafat Yunani untuk diambil teori-teorinya
yang logis. Maka al-Ghazali mengkritik dan mengoreksi aliran ini. Ia berniat
untuk mengembalikan aqidah umat Islam kepada aqidah yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
3.
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli ilmu filsafat (filosof)
Setelah beliau mendalami ilmu kalam,
ternyata beliau banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu
kalam dari pada manfaatnya. Ilmu ini lebih banyak mengeluarkan
premis-premis yang mempersulitdan menyesatkan daripada menguraikan secara jelas. Al-Ghazali
menyatakan bahwa para teolog tidak mampu mencapai pengetahuan yang hakiki jika hanya
menggunakan metode ilmu Kalam saja. karena akal manusia mengalami
kesulitan untuk mengetahui sifat-sifat dan tindakan-tindakan Allah secara hakiki.
Oleh karena itu Al-Ghazali meninggalkan ilmu Kalam dan
pindah mengajar ilmu filsafat. Sejumlah karya filsafat, terutama karya
Ibn Sina, dibaca dan dikajinya dengan tekun.[18]Hingga
ia menjadi seorang filosof dan memunculkan sebuah kitab yang berjudul Maqasid
al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof).
Pada bidang filsafat pun Al-Ghazali banyak
menentang kecenderungan para filosof yang dipandang sangat
membahayakan akidah, untuk meluruskan maka Al Ghazali menulis kitab Tahafut
al-Falasifah(Kebingungan
para filosof).[19]
DalamTahafudz al-Falasifah beliau
menjelaskan bahwa tiga persoalan filsafat yang bisa menyebabkan kufur dan
pengingkaran nash syar'i. Masalah tersebut adalah:
a.
Masalah alam kekal
b.
Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam
Menurut al-Ghazali, dalam berfilsafat
orang harus mempertimbangkan dan berpikir dengan al-Qur'an dan hadits disamping
menggunakan logikanya.
4.
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli ilmu kebatinan
Setelah mendalami filsafat, Imam Al
Ghazali melihat bahwa, ternyata filsafat tidak mampu menyingkap
ilmu metafisik, bahkan banyak melahirkan kekacauan dalil.
Melihat hal ini, al-Ghazali tidak
tinggal diam. Mula-mula al-Ghazali melakukan penelitian terhadap
literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebatinan. Kemudian
makalah-makalah yang telah mereka susun rapi dikajinya secara mendalam. Hasil
penelitiannya disusun, kemudian dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang
salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak
dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga.[21]
Hal ini dilakukan oleh al-Ghazali dalam
rangka mengembalikan dan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Islam
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurutnya Imam yang ma'shum seperti
yang dikatakan oleh pengikut aliran kebatinan hanyalah tokoh ideal yang ada
dalam alam idea.
5.
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli ilmu tasawuf
Setidaknya ada dua faktor yang ada pada sufisme, sehingga
al-Ghazali tertarik untuk melaksanakannya.[22]Pertama,
karena sufisme memiliki dua aspek esensial: teori dan praktek (ilmu dan amal).
Seorang sufi tidak hanya mengerti apa arti hidup zuhud (asketis), tetapi dia
betul-betul melaksanakan apa yang dimaksud dengan zuhud tersebut dalam
kehidupannya. Hal ini berbeda dengan ketiga golongan yang ditelitinya: ahli
kalam, filsuf, dan bathiniyyah, karena ketiga golongan itu hanya mengutamakan
salah satu aspek saja, yaitu dari aspek teoritis belaka.
Kedua, karena sufisme menawarkan suatu jenis pengetahuan
yang langsung diterima oleh Allah bagi siapa saja yang melaksanakannya. Dengan
daya tarik itu, al-Ghazali betul-betul berusaha melaksanakan kehidupan sufi
secara nyata, setelah menguasai pengetahuan sufisme secara mendalam. Ia menjadi
sufi yang berhasil. Ia sungguh-sungguh mengalami Allah yang bersabda dan
memberikan pengetahuan yang menurutnya tak terhitung banyaknya.
Imam al-Ghazali dalam karyanya al-Munidz min adh-Dhalal
mengatakan: “Banyak sekali rahasia dan misteri telah diungkapkan kepadaku
dalam pengasingan dan penyendirianku (khalwat) bersama Allah.”[23]
Keberhasilan sufi sendiri bukanlah melulu kehendak manusia. Al-Ghazali sendiri
berkata bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk
berbuat dalam diri manusia.[24]
Jadi, sufisme di sini juga menjadi suatu bentuk tanggapan akan daya Allah yang
mendorong manusia untuk semakin dekat dengan-Nya dan dengan demikian, manusia
mendapatkan pengetahuan dari Allah yang lebih sempurna.
Al-Ghazali mengaku memperoleh keyakinan sampai ke tingkat
keyakinan akan kebenaran yang bersifat matematis. Adanya keyakinan itu
disebabkan karena adanya pengetahuan, yang dalam konsepsi al-Ghazali disebut:
a. Ilmu “mukasyafah” (karena diperoleh
melalui ‘terbukanya’ hijab antara hati dan Luh Mahfuzh;
b. Ilmu “musyahadah” (karena diperoleh
melalui penyaksian langsung dengan mata hati atau bashirah terhadap Luh
Mahfuzh, sebagai sumber pengetahuan);
c. Ilmu “al-bathin” (karena pengetahuan
itu diperoleh melalui batin bukan lahir);
d. “al-ma’rifah” (karena pengetahuan
ini diterima langsung dari Allah tanpa belajar, dan dengan itu orang mengalami
pengenalan hakiki mengenai Allah);
e. “nur-ilahi” (karena berupa sinar
pengetahuan Tuhan yang dicampakan-Nya ke dalam hati orang yang dikehendaki-Nya.
f. “al-ilm al-khafi” (karena
pengetahuan ini harus disembunyikan oleh orang-orang yang memperolehnya,
kecuali terhadap orang yang juga mendapatkannya).[25]
Secara umum Al-Ghazali membagi ilmu
menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Ilmu fardhu
'ain.
Menurut Al-Ghazali: Ilmu yang fardhu
‘ain yaitu segala macam ilmu untuk mengenal Allah, mengetahui sifat-sifat
Allah, mengetahui perkara ghaib, mengetahui cara beribadat, mengetahui halal
dan haram, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan menjaga hati dan amalan hati,
seperti sabar, ikhlas, dan sebagainya. Di sinilah lahir istilah-istilah ilmu
Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.
2.
Ilmu fardhu
kifâyah.
Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu
yang perlu diketahui untuk keperluan dan keselarasan hidup di dunia. Tanpanya
manusia menempuh kesusahan dan tidak dapat menyempurnakan tuntutan fardhu
‘ain.
Al-Ghazali menyebutkan:
"....bidang-bidang ilmu pengetahuan yang
termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran,
berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik
dsb.” [26]
2.3 Pemikiran Al Ghazali
tentang pendidikan Islam
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali
adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan
pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi
samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta
keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu
yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat,
ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran
Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui
kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak
muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah
pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghozali memberi
pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling
Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan.
sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghozali
yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan[27]:
“sesungguhnya
hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“…
dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang
melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang
pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan
kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk
pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghozali
dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah
pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan
diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses
pendidikan, Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada
nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat
keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa
mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah
konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.
1. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan
selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan
kemundaratan.
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan pada firman Allah swt,
tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan
manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku( Q.S. al-dzariat: 56)
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-ghazali tersebut
dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang
dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan
rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia
merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa
yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia.[28]
2. Kurikulum pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti
yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta
didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari
pandangan mengenai ilmu pengetahuan.
a.
Berdasarkan
pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji,
terdiri atas:
a) Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu
al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma
b) Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal
ihwal hati dan akhlak.
c) Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu
bahasa dan gramatika.
d) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
a) Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu
berhitung dan ilmu pustaka.
b)
Ilmu yang
diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu
tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b.
Berdasarkan
objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
1) Ilmu pengetahuan yang tercela secara
mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu
tentang ramalan nasib.
2) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik
sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan
tentang ilmu beribadat.
3) Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu
terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti dari sifat naturalisme.
c.
Berdasarkan
setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat
digolongkan kepada:
1. fardu ‘ain, yang wajib dipelajari
oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2. fardu kifayah, ilmu ini tidak
diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang
mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum muslimin dan
kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa. Contohnya;
ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.[29]
3. Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan
suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan
suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan
dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih
disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan
anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya
dari sengatan api neraka di akhirat.
4. Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses
pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode
pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali
tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan
metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan
penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan
media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan
menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
5. Proses Pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep
pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya.
Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat
menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia
yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat
dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak
akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang,
hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia.
Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan
syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus
mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi
keberhasilan proses pengajaran.[30]
2.4 Relevansi dengan pendidikan Islam sekarang
Patut dibenarkan apa yang dikatakan ismail razi al-Faruqi
bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini adalah masalah
pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusi-manusia produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusi-manusia produk-produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor.
Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan
di atas, tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di
Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling
diutamakan . untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran al-Ghazali bagi
pengembangan dunia pendidika Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya.
Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui
dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan
yaitu:
a.
Tercapainya
kesempurnaan insane yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
b. Kesempurnaan insane yang bermuara
pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius
yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek
sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan
menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal
kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan
pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu
kewajibannya, baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.
Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang
meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia
dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak.
Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali
memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan
pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi Pendidikan Islam
Imam ai-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu)dan menyusunnya
sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik, juga sesuai dengan nilai yang
diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini
merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat
dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak
merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ke tingkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dsb.
Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu agama Islam saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya.
Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni ke tingkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dsb.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan
pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangat bertautan dengan tuntutan
saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik
misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat
disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendidikan. Jangankan
disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi
yang satu ini sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali
tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali
tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu
agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat
Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah
satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi
seperti itu.
3. Metode Pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang
metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam
karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya
dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang
penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna
sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah
dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya
dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari
itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana
dari penggunaan metode pendidikan
Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses
kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik
terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat
sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi
dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini
berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali
dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
[1] Muhammad Sholikhin, Filsafat dan
Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan
Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti, (Jakarta: Narasi, 2008), 182.
[2] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al Ghazali: Dimensi
Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 53.
[3]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001),
83.
[4] Mubin Ardiansyah, Epistemologi
Menurut Al-Ghazali: Studi Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali, (Malang: Skripsi
Tidak Diterbitkan, 2007), 72.
[7] Margareth Smith, Pemikiran dan
Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, terj. Amrouni, (Jakarta: PT Riora Cipta,
2000),18-20.
[10] Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), 268.
[14] Abidin Ibn Rusn, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),13.
[15] Sabrur R Roenardi, Eskatologi
Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer
Sibawaihi, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), 40.
[16] Ini karena ia belajar dari gurunya al
Juwaini dan al Juwaini adalah seorang penganut aliran Asy'ariyah.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandungan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,2002), 111
[26]http://pendislami.tripod.com/klasifikasi_ilmu.htm,Pembagian
Ilmu dalam Pendidikan Islam, diakses tanggal 23 April 2010. Untuk lebih
jelasnya lihat juga di Imam Al-Ghazali, Ihya'u Ulum al-Dien,
(Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, t.t.), 19.
[27]. Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran
Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548,
Yogyakarta), 54.
[28] Prof. Dr. H Ramayulis, Dr. H, Nizar
Samsul, M.A, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Quantum Teaching,
Ciputat, 2005), 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar