oleh :
Hasan Muwahid
Majdi Husain
Moch. Hasyim Asyari
Zainal Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan memiliki beberapa aturan yang harus ditaati , apabila
ingin hidup bahagia kita harus mentaati peraturan tersebut. Aturan-aturan
tersebut tertertulis dan tercantum dalam kitab Al- Qur’an (Firman ALLAH SWT)
dan Sunnatullah (Hadits Nabi), inilah pegangan hidup manusia untuk menjalani
kehidupan di dunia ini.
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW
baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan hukum yang langsung diberikan
oleh nabi atas suatu permasalahan syari’at.
Agama Islam sebagaimana diketahui adalah agama yang tidak hanya
berbicara tentang ibadah murni (mahdloh) yang hanya berhubungan dengan
segala sesuatu amal yang memiliki tendensi ubudiyyah saja, yakni hubungan
antara seorang hamba dengan tuhannya, akan tetapi Islam juga merupakan sebuah
konsep social yang didalamnya juga mengatur dan memberikan norma-norma dalam
yang berkaitan dengan mu’amalah. Berkaitan dengan hal tersebut diatas penulis
akan mencoba membahas tentang salah satu praktek perdagangan yang sering kali
terjadi di masyarakat, yakni apa yang disebut sebagai Ihtikar (إحتكار ) dan akhlak yang tidak terpuji
( tercela) ). Dalam hal ini penulis akan mencoba memaparkan tentang
hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan masalah –masalah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Hadits- hadits yang berkaitan dengan larangan Ihtikar dan
berakhlak tercela
2.
Menjelaskan Kandungan hadits larangan Ihtikar dan berakhlak
tercela
3.
Menjelaskan pelajaran yang di ambil dari hadits-hadits larangan Ihtikar
dan berakhlak tercela
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Larangan Menimbun dan Memonopoli
1.
Hadits dan penjelasannya
mengenai larangan Ihtikar
Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang
beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh
keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.
a.
Hadits Larangan Menimbun Barang Pokok
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ
اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا
خَاطِئٌ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾
Dari Ma’mar bin Abdullah rađiyaLlāhu ‘anhu tentang Rasulullah şallaLlāhu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah orang yang menimbun barang,
melainkan ia berdosa karenanya.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 3013)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ عَنْ
يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ
أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنِ احْتَكَرَ
فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ
مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم)[i](
Artinya : Diceritakan
dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal,
dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa
sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang
melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa.
Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan
ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia
juga melakukan ihtikar. (HR. Muslim)
Penjelasan Hadits :
Dalam riwayat yang lain disebutkan menggunakan lafadz : لَا يَحْتَكِر إِلَّا خَاطِئ lafadz خَاطِئ dalam hadits diatas menurut ahli bahasa memiliki arti
seseorang yang berbuat durhaka dan melakukan perbuatan dosa.
Ma’mar bin Abi Ma’mar adalah salah seorang sahabat Nabi yang masuk
Islam lebih dulu dan pernah mengikuti Rasulullah saw hijrah ke Habasyah. Beliau
terlambat Hijrahnya ke Madinah, dan pada akhirnya beliau hijrah dan menetap di
Madinah bersama Nabi. Menurut Abu Isa, hadits ini dikatakan sebagai hadits
hasan dan sohih. Sedangkan menurut imam Albany hadits ini dikatakan hadits
sohih.
Berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang
disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan,
bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan penahanan atas barang berupa
minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya melakukan
penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji gandum dan sejenisnya
saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id adalah melakukan praktek
ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul
Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar keduanya melakukan ihtikar atas
minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan yang dimaksudkan dalam hadits
tersebut adalah melakukan penahanan atas barang-barang yang menjadi kebutuhan
pokok saja, bukan komoditas lain seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah
serta komoditas lain yang bukan merupakan kebutuhan pokok.[ii]
Berbeda halnya dengan pendapat Ibnu Badr Al-Mushily dalam kitab
AL-Mughny dengan tegas menolak hadits ini dengan alasan adanya kontradiksi dari
antara apa yang dilakukan oleh Perawi dan isi hadits tersebut, sehingga beliau
menganggap apa yang diriwayatkan menjadi tertolak dan hadits ini menurut
pendapat beliau adalah hadits dlo’if. Hanya saja alasan kontradiktif tadi
bukanlah sebuah alasan yang dapat dijadikan landasan sepenuhnya atas penolakan
hadits tersebut, sebab Nabi saw tidak memberikan batasan tertentu atas apa saja
yang dilarang untuk melakukan praktek ihtikar, hanya saja yang menjadi pokok
pembahasan dan landasan adalah isi daripada hadits itu sendiri bukan pendapat
seorang Rowi. Dalam hal ini Ibnu Abd Al-Bar berpendapat bahwa tidak mungkin
bagi seorang sahabat mulia yang merawikan hadits dari Nabi SAW dan seorang
tabi'in (mulia) yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan
hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang
dilarang hanyalah bahan makanan saja).
Dengan adanya perbedaan diatas hukum monopoli dapat di perinci
sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak
(tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Barangsiapa menimbun
maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang
diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi 3 kriteria:
v Barang yang ditimbun
melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita
hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana
pernah dilakukan Rasulullah SAW.
v Menimbun untuk dijual,
kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah
mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
v Yang ditimbun
(dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan
lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi
tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka
itu tidak termasuk menimbun.
2. Makruh secara
mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi
umatnya.
3. Haram apabila berupa
bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan
hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat
lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
يُحَدِّثُ أَنَّ
مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنِ احْتَكَرَ
فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ
مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم
“Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia
adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka
sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar
yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar”. (HR. Muslim)
4.
Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah,
sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini
lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga
apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang
yang dibutuhkan.
5.
Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil
dibolehkahnya ihtikar. Sabda Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى
رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a.
beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan
tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali
harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Dari uraian diatas kita dapat
disimpulkan bahwa larangan menimbun barang pokok itu sangat tegas
larangannya karena menimbun barang tersebut dapat meresahkan, mengganggu, dan merugikan
orang banyak.
b.
Larangan
Terhadap Tengkulak
عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا
تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ:
مَا قَوْلُهُ: «وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ»؟ قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ
سِمْسَارًا. ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ﴾
Dari Ţāwus dari tentang Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian songsong
(cegat) kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang
kota menjual kepada orang desa”. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu
‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau; “dan janganlah orang kota menjual untuk orang
desa”. Dia menjawab: “Janganlah seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi
orang kota”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2013)
Penjelasan Hadits :
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa
masyarakat Arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang
dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa
barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Mekkah. Mereka datang
bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk
mendapatkan barang tersebut karena harganya murah. Oleh karena itu banyak
tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau
memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya
kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai
dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang
didalam agama islam. Rasulullah saw bersabda:
“apabila dua orang saling jual beli,
maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana
mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya
memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah
memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan
yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah
setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak
meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut”.
(diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa
islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam
bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam
menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan
untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.
Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I
melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada
kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya. Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq
berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir
hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’i membolehkan mencegat kafilah jika tidak
mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada
penduduk, hukumnya makruh.
Dengan uraian diatas kita dapat
simpulkan bahwa bahwa larangan terhadap tengkulak itu disebabkan karena sifat
keegoisan dan kelicikan seorang makelar terhadap penjual pertama atas barang
dagangan. Dengan keegoisannya dan kelicikannya
seorang makelar membeli barang dagangan tersebut dengan harga murah dan
menjualnya dengan harga mahal. Sehingga dapat menimbulkan harga barang dagangan
mahal yang bisa meresahkan sebagian masyarakat.
B.
Tingkah Laku Tercela
1.
Hadits dan penjelasannya tentang Tingkah Laku Tercela
a.
Hadits dan penjelasannya Buruk Sangka
حَدِيثُ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ.
وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا،
وَلاَ تَبَاغُضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا. وَكُونوا عِبَادَ الله إِخْوَانًا».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Dari Abū
Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu, tentang Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jauhilah berprasangka buruk, karena berprasangka buruk adalah ucapan yang
paling dusta, janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan, janganlah suka
memata-matai, jangan saling menjerumuskan, jangan saling dengki, serta saling
membenci, tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Şaĥīĥ
al-Bukhāriy ĥadīś no. 5604)
Penjelasan Hadits :
Buruk sangka
atau syu’udzon adalah kebalikan dari baik sangka atau husnudzon.Buruk
sangka merupakan salahsatu penyakit jiwa ,dan termasuk pula sifat tercela.Orang
yang dihinggapi penyakit buruk sangka selalu curiga terhadap orang lain .Jika
ada orang lain sedang bercakap cakap lalu disangka sedang mempercakapkan
keadaan dirinya,Jika ada orang yang mendapat keuntungan disangkanya orang itu memperoleh
keuntungan dengan cara yang tidak baik.Jika ia melihat teman sekelasnya
memperoleh nilai yang baik dalam ulangan atau ujian,dituduh temannya itu
menyontek,atau dituduhnya guru itu pilih kasih dalam memberi nilai dan
sebagainya.Buruk sangka adalah perbuatan dosa, sebagaimana dalam Q.S.
AL-Hujurat:12
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( .........
“ Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa”...........(al-Hujuraat:12)
Rasulullah saw juga melarang
kita berburuk sangka sebagaimana sabda Nabi yang sudah dituliskan diatas.Sifat
buruk sangka membuat orang selalu gelisah,senantiasa diliputi perasaan waswas
dan curiga kepada orang lain.Dan tidak selayaknya kita menyangka yang tidak
tidak terhadap sesama orang muslim,kecuali jika terungkap suatu bukti yang
tidak memerlukan takwil lagi atau ada orang yang dapat dipercaya menyampaikan
kabar kepadamu dan hatimu yakin benar terhadap kejujurannya.Sebab jika engkau
tidak mempercayai pengabarannya berarti engkau juga berburuk sangka kepada
orang yang mengabarkan kepadamu.
Ketahuilah bahwa buah dari buruk sangka adalah mencari cari
kesalahan.Sebab hati tidak akan merasa puas hanya dengan berburuk sangka,tetapi
ia akan mencari kebenarannya,sehingga dia sibuk mencari cari kesalahan.Hal ini
dilarang karena bisa menjurus kepada perbuatan membuka aib orang
Dari uraian diatas dapat disimpulkan buruk sangka adalah curiga
yang berlebihan,menaruh prasangka dan kurang mempercayai kebenaran diatas
bukti,fakta dan sebagainya
Untuk menghidari sifat buruk sangka hendaknya kita membiasakan diri
menganggap bahwa semua orang itu pada dasarnya baik jika ada orang sedang
bercakap cakap yakinlah bahwa mereka sedang mempercakapkan suatu yang baik.Jika
temen kita memperoleh keberuntungan,hendaklah kita turut gembira dan ucapkan
selamat kepadanya.
b. Hadits dan penjelasannya Ghibah dan Buhtan
عن أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟» قالوا : اللهُ وَرَسُولُهُ
أعْلَمُ، قَالَ : «ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ» قِيلَ : أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ
في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ : «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَد اغْتَبْتَهُ،
وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾
“Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu, ia mengabarkan bahwa Rasulullah
şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ġībah itu?”
Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah
şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “ġībah adalah kamu membicarakan saudaramu
mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah,
bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai
dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berkata:
”Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah
menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka
berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś
no. 4690)
Penjelasan Hadits :
Ghibah atau gosip merupakan sesuatu yang dilarang agama. Ghibah
dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia.
Seseorang yang berbuat ghibah berarti dia telah menyemai kedengkian dan
kejahatan dalam masyarakat.
Ghibah
berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ghaaba, yang berarti ‘tidak hadir’,
atau lawan kata dari hadhara. Asal usul kata ini memberi pemahaman adanya unsur
‘ketidakhadiran seseorang’ dalam gibah, yakni orang yang menjadi obyek
pembicaraan.
Dari
segi definisi istilah atau terminologi, gibah diartikan sebagai pembicaraan
tentang seseorang yang tidak hadir dalam pembicaraan itu, yang apabila dia
mendengarkannya akan menjadi terganggu atau tidak senang. Dalam bahasa
Indonesia, gibah diterjemahkan sebagai “menggunjing”.
Jabir
bin Abdullah ra. Meriwayatkan “Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba
tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda,
“Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang mengghibah
orang lain”. (HR Ahmad)
Dengan catatan yang dikatakan atau yang diceritakan ada pada seseorang tersebut maka itulah yang
dikatakan dengan ghibah dan jika yang dikatakan atau yang diceritakan
tidak ada pada seseorang tersebut maka itulah yang dikatakan dengan “buhtan”
Kedua sifat ini sangat berbahaya bagi kehidupan dan ketentraman
masyarakat.Ghibah membahayakan ketentraman dan kerukunan hidup bermasyarakat
,karena setiap orang tidak mau di pandang cacat atau cela.
Ghibah baik yang
melakukan sendiri maupun yang mendengarnya sama haram hukumnya.Begitu pula baik dengan kata kata terang maupun
sindiran,dengan isyarat gerakan ataupun yang dimaksud untuk membuka rahasia dan
merendahkan kehormatan orang adalah haram juga hukumnya.Karena itu apabila
terlibat suatu percakapan yang bersifat ghibah hendaklah kita menghindarinya
Tidak semua jenis ghibah dilarang dlam agama.Ada beberapa
jenis ghibah yang di perbolehkan,yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
yang benar.Setidaknya ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan
1.
Orang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan
kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau
kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya
2.
Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang
berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar
3.
Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita
diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih
berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai
yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.
4.
Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan
5.
Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik
atau bid’ah seperti minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa.
Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan
sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan
dengan orang tersebut.
6.
Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek,
si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran
di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina,
maka haram hukumnya.
Dari uraian diatas kita simpulkan bahwa yang disebut Ghibah adalah
pembicaraan seseorang terhadap orang lain tentang perkara yang benar dilakukan
orang lain tersebut. Sedangkan Bhuhtan adalah pembicaraan seseorang
terhadap orang lain tentang perkara yang tidak dilakukan orang lain tersebut.
c.
Hadits dan penjelasannya larangan Berbuat Boros
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya :Rasulullah saw
,ber
Sabda:”Makanlah,minumlah,berpakainlah dan bersedekahlah dengan tidak
berlebih lebihan dan tanpa kesombongan “(HR,Abu Daud dn Ahmad)
Dari Abi Karimah Al-Miqdad ibni Ma’dikarib ra ia berkata :Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda :”Tidak ada bejana yang lebih jelek daripada
perut yang diisi dengan beberapa suap makanan yang akan menegakan tulang
rusuknya,karena fungsi perut sepertiga untuk makanan,sepertiga untuk minum dan
sepertiga untuk bernafas
“(HR At Tirmidzi)
Dari dua hadits diatas memberi pelejaran kepada kita agar selalu
berbuat hemat dalam segala hal,baik dalam hal makanan,minuman maupun
berpakaian.Bahkan ketika kita memiliki sesuatu untuk diberikan kepeda orang
lain maka kita harus tetap bersikap tidak boros .Artinya ketika hendak
bersedekah maka kita harus memikirkan sudahkah keperluan anak,istri dan orang
yang menjadi tanggungan kita penuhi kalau sudah terpenuhi,barulah bersedekah
dengan tidak mengganggu ketentraman kehidupan keluarga kita
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa boros adalah pemakaian
barang atau uang secara berlebih-lebihan,tidak ekonomis,dan berlebih
lebihan,serta menghambur hamburkan harta secara boros,baik untuk kepentingan
pribadi maupun untuk kepentingan orang lain
C.
Korelasi dengan dunia Pendidikan Islam
Sesungguhnya
hadis yang diatas memperlihatkan peristiwa mengenai kerusakan akhlak seorang
manusia. Dan lemahnya keimanan seseorang kepada ALLAH SWT. Mengapa demikian
karena akhlak adalah cerminan dari keimanan seseorang kepada Allah SWT.
Sistem
Pendidikan Islam dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu bagian aqidah
(keyakinan), bagian syari’ah (aturan-aturan hukum tentang ibadah dan muamalah),
dan bagian akhlak (karakter). Ketiga bagian ini tidak bisa dipisahkan, tetapi
harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling mempengaruhi.
Aqidah
merupakan fondasi yang menjadi tumpuan untuk terwujudnya syari’ah dan akhlak.
Sementara itu, syari’ah merupakan bentuk bangunan yang hanya bisa terwujud bila
dilandasi
oleh
aqidah yang benar dan akan mengarah pada pencapaian akhlak (karakter) yang
seutuhnya. Dengan demikian, akhlak (karakter) sebenarnya merupakan hasil atau
akibat terwujudnya bangunan syari’ah yang benar yang dilandasi oleh fondasi
aqidah yang kokoh. Tanpa aqidah dan syari’ah, mustahil akan terwujud akhlak
(karakter) yang sebenarnya.
Seperti
dijelaskan di atas bahwa karakter identik dengan akhlak. Dalam perspektif
Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses
penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang
kokoh. Ibarat bangunan, karakter/akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan
tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat.
Sehingga
kita dapat menyimpulkan dengan adanya larangan hadits diatas, kita bisa
menghubungkan , mengkorelasikan terhadap pendidikan Islam.yaitu tentang dengan
Akhlak- akhlak di bawah ini:
1. Jujur
dan Amanah
Akhlak ini termasuk akhlak terpuji, yang harus
dimiliki setiap para Ekonom, dalam melakukan jual beli. Ini berkaitan dengan
larangan menimbun barang pokok
2.
Serakah
Akhlak ini temasuk akhlak tercela, yang harus
dihindari setiap Para Ekonom dalam mengatur perekonomian pasar dengan tidak
menjalankan Sistem Monopoli Perdagangan
3.
Menggunjing dan
Ghibah
Akhlak ini temasuk akhlak tercela, yang harus
dihindari setiap orang Islam dalam menjalani hubungan dengan sesama manusia,
agar terciptanya ukhwah islamiyah
4.
Tabdzir
(pemborosan)
Akhlak ini termasuk akhlak tercela, termasuk lawan
kata dari hemat. Sehingga berlaku hematlah kamu dalam menggunakan karunia Allah
swt dan hindarilah pemborosan karena hanya mengantarkan kesengsaraan.
BAB III : PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dengan
pembahasan diatas maka kita simpulkan beberapa point penting dalam makalah ini
a.
Kandungan Hadits Larangan Menimbun Barang Pokok
1.
Larangan islam dalam menimbun barang,
Karena monopoli
dilakukan secara sengaja untuk mencari keuntungan besar sehingga meresahkan dan
menyulitkan orang lain.
2.
Ketegasan larangan monopoli terhadap kebutuhan primer Manusia
Karena
kebutuhan primerlah manusia bisa menyeimbangkan perekonomian dia dan orang
lain.
b.
Kandungan Hadits Larangan terhadap Tengkolak
1. Larangan kepada
Pembeli dari upaya mencegat pembawa barang atau Penjual di jalan sebelum sampai
di pasar.
2. Anjuran kepada pedagang untuk menjual dagangan sesuai dengan harga
pasar
c.
Tingkah Laku Tercela
1.
Kandungan Hadits berbuat prasangka buruk
Ø
larangan mencari kesalahan(a’ib) orang lain
Ø dampak negatif
berburuk sangka, timbul rasa gelisah, was-was, dan selalu mendorong rasa
ketidak puasan mencari kesalahan orang lain
Ø larangan
berburuk sangka
Ø larangan
memata-matai orang lain
Ø larangan
menawar untuk menjerumuskan orang lain
Ø larangan Hasud
Ø larangan
benci-membenci
Ø larangan
belakang-membelakangi( memutus tali persaudaraan)
Ø perintah
merekatkan persaudaraan
2.
kandungan Hadits Ghibah dan bhuhtan
Ø perintah untuk
menjaga lisan
Ø perintah untuk
menjaga ukhwah Islamiyah
Ø larangan
menceritakan kejelekan oarang lain, meskipun itu benar
3.
kandungan Hadits berbuat
boros
Ø larangan
menghambur-hamburkan uang
Ø anjuran berlaku
hemat
Ø anjuran untuk
menyisihkan uang demi orang yang tidak mampu
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad Fuad Abdul Baqi’, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Dar al-Fikr,
Beirut, tt. (LM);
2.
Muhammad bin Abdul Aziz al-Khuli, Al-Adab al-Nabawi, Mustafa
al-Babi al-Halabi, Mesir, 1960 (AN);
3.
Ahmadi bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Dar
al-Fikr al-Maktabah al-Salafiyah, tt. (BM);
4.
Al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, Dar al-Kitab al-Azabi, Mesir,
1955 (RS).
5.
Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, Syarikat
Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Bab al-Halabi wa Auladihi, Mesir, Ed. I,
1950;
6.
Ahmadi bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Fikr
al-Maktabah al-Salafiyah, tt.;
7.
Al-Nawawi, Syarah Muslim, tp., ttp., tt.;
8.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqi, Mutiara Hadits, Bulan Bintang,
Jakarta.
[i] Muslim, Abu Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-Nasisabury,
Al-Jami’ Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5, Beirut, Darul Jayl,
hlm. 56
[ii] Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii
Al-Misry, Al-Badrul Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi
Syarhi Al-Kabir Juz 6, Riyad, Darul Hijrah, 2004, hlm.504
Tidak ada komentar:
Posting Komentar