Oleh Majdi Al Husainy
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan upaya manusia yang diarahkan kepada siswa, peserta didik atau manusia
lainnya, dengan harapan agar dengan pendidikan ini mereka kelak menjadi manusia
yang shaleh yang berbuat sebagaimana yang seharusnya diperbuat dan menjauhi dengan
apa yang tidak patut dilakukannya.
Dengan
pendidikan, maka manusia dapat menjadi makhluk Allah SWT yang istimewa.
Walaupun saat dilahirkan dari kandungan ibunya belum tahu apa-apa, namun ia dibekali
potensi berupa pendengaran, penglihatan serta akal, dan hati. Sebagaimana firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 78: “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut
ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sedikit apapun, dan Dia memberi
kamu, pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dengan potensi
yang diberikan oleh Allah SWT itu manusia diberikan kemampuan untuk melakukan
kegiatan pendidikan, tentunya pendidikan itu harus berdasar atas kehendak yang
penuh dengan tanggung jawab, karena hal ini menyangkut masa depan anak didik,
masa depan masyarakat, masa depan suatu bangsa.
Islam adalah
agama yang begitu memperhatikan tentang penggunaan akal dan pendalaman dunia
pendidikan. Islam mengajak kepada setiap individu untuk merasakan betapa
beratnya tanggung jawab dalam pendidikan akal seorang anak manusia. Mengajak setiap
manusia untuk turut serta berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.
Dari dasar
inilah maka kita diajak untuk sadar, bahwa pendidikan itu menempati posisi yang
sangat dominan dalam kegiatan dan aktivitas manusia. Sebab pendidikan merupakan
bagian yang tak akan terpisahkan dari kehidupan manusia.
Pendidikan dalam
prinsip Islam adalah pendidikan yang dilaksanakan dalam kerangka meningkatkan
kepribadian siswa, dengan jalan membina potensi-potensi yang ada padanya, baik
itu potensi mental (rohani) maupun potensi fisik (jasmani).
Sebagaimana yang
diungkapkan oleh M. Noor Syam dkk., bahwa pendidikan adalah aktivitas dan usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budhi nurani) dan jasmani
(panca indra serta keterampilan).
Apabila
pendidikan itu berjalan dengan baik dan lancar serta sesuai dengan apa yang ada
dalam al-Qur’an, maka hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya program dan
keseriusan, maka hasilnyapun akan kita rasakan. Melalui pendidikan para pendidik
Islam menghasilkan pribadi-pribadi yang nanti menjadi pendidik pula, menyebarkan
Islam kepada generasi yang akan datang.
Pendidikan yang
baik merupakan modal utama dalam kemajuan peradaban manusia, terutama dalam hal
pengembangan nilai-nilai yang normatif, sehingga pendidikan tidak hanya
menciptakan manusia-manusia yang pintar akan tetapi juga menciptakan manusia
yang tahu akan tanggungjawabnya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Pendidikan harus
tetap berjalan, berkembang dan maju sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap
tak terbawa arus oleh gejolak-gejolak zaman, sebab perkembangan zaman manusia
tidak selamanya membawa kebaikan, namun juga terkadang membawa kepada
kejelekan. Untuk itulah maka diperlukan pengontrol dan pengantisipasi, yaitu
yang disebut dengan pendidikan.
Pendalaman
tentang pendidikan Islam yang dipelajari oleh para siswa, memerlukan adanya
pemahaman dan pengamatan yang mendalam pula, dengan demikian pendidikan tidak
hanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek kognitif saja, melainkan
juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek afektif dan psikomotor.
Walaupun untuk hal ini memang diperlukan usaha-usaha yang besar dan serius.
Ilmu memang tidak mudah didapat tapi bila sudah dapat melaksanakannya, banyak manfaat
yang kita peroleh.
Dalam
pengembangan tentang pendidikan agama Islam yang kita harapkan bersama, yaitu
pendidikan yang mampu memberi nilai yang baik dan mulia, maka memang perlu
diperhatikan segala hal yang bersangkut paut dengan apa yang ada dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini pendidikan disempurnakan dan dipenuhi dengan hal-hal yang sifatnya
nyata dalam bentuk pengalaman.
Dalam
melaksanakannya, pendidikan merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa
komponen, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling komplementer
atau saling pengaruh mempengaruhi kepada tujuan.
Dalam kaitan
antara pendidikan agama Islam dengan hal-hal yang menyangkut penerapan moral
atau akhlak, dalam hal ini yang terangkum dalam al-Qur’an, maka kita akan
menemukan permasalahan-perma-salahan itu dalam permasalahan atau
pembahasan yang selalu digeluti oleh
Ulama besar Hujatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dialah
tokoh umat Islam yang tidak sedikit waktunya dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan
dan penelaahan-penelaahan yang masih ada sangkut pautnya dengan permasalahan
yang ada di dalam al-Qur’an terutama dalam bidang pendidikan.
Wawasan
keilmuannya yang se-demikian luas dan mendalam serta sikap hidupnya sebagai
hamba Allah yang konsisten, terbaca dalam karya-karyanya yang jumlahnya sekitar
seratus buah, serta transfaran pula dalam pola perilakunya sehari-hari.
Mengingat betapa
pentingnya mengetahui pemikiran Imam al-Ghazali untuk pengembangan pendidikan
Islam, maka secara spesifik perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang
dimaksud dasar pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali?
2. Bagaimana
al-Ghazali meletakkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam
penentuan tujuan
pendidikan Islam itu?
3. Bagaimana
pandangan al-Ghazali tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam
penentuan metode
dan materi pendidikan Islam itu?
4. Kualifikasi
apa yang menjadi prioritas bagi al-Ghazali dalam pendidikan Islam?
LANGKAH-LANGKAH
DAN METODE PENELITIAN
Setelah
diketahuinya permasalahan yang ada, yakni berkenaan dengan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali, maka langkah
selanjutnya adalah menyusun atau merumuskan permasalahan-permasalahan tersebut secara
sistematis sesuai dengan prosedur yang berlaku.
1. Menginventarisasi
Data.
Upaya untuk
mengetahui secara mendalam mengenai pembahasan al-Qur’an dan Sunnah sebagai
dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali diperlukan berbagai
sumber data, baik data yang bersifat kewahyuan seperti al-Qur’an dan Sunnah, ataupun
data yang berhasil dihimpun dari berbagai buku-buku, sesuai dengan penelitian
ini.
2. Teknik
Penelitian
Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu studi kepustakaan (books survey), yakni
berupa penelitian yang menitikberatkan pada penelaahan buku-buku karangan para
ahli yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Dilihat dari teknik
analisisnya, penulis menggunakan teknik analisis data sebagai berikut:
a. Teknik
Induktif, yaitu penelitian dengan menggunakan premise dari fakta yang bersifat khusus
menuju ke arah yang bersifat umum sebagai kesimpulannya.
b. Teknik
Dedutif, yaitu penelitian dengan menggunakan premise dari fakta yang bersifat umum
menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai kesimpulannya.
c. Teknik
Konvergentif, yaitu suatu teknik penelitian dengan memadukan kedua unsur teknik
yang bersifat kualitatif di atas.
3. Pengolahan
atau Analisis Data
Hal ini berarti
membuat suatu formulasi dari data yang telah di dapat secara variabel, sehingga
menghasilkan suatu rumusan mengenai al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan
pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali secara kualitatif.
4. Membuat
Kesimpulan
Dari sejumlah
uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, kemudian ditarik suatu
kesimpulan dari penelitian yang berkenaan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian
ini, yakni al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan
Islam menurut Imam al-Ghazali. Dengan terselesaikannya langkah ini diharapkan
akan terjadinya suatu deskripsi tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi
pengembangan pendidikan Islam, sebagai sebuah sumbangan pemikiran dari Imam
al-Ghazali.
PEMBAHASAN
TEMUAN DALAM
PENELITIAN
1. Konsep dan
Tujuan Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
Jargon bahwa
al-Qur’an sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan dan al-Sunnah sebagai sumber
inspirasi bagi kebangkitan umat, yang intinya menempatkan bahwa al- Qur’an
sebagai petunjuk global dan al-Sunnah sebagai petunjuk praktis bagi kehidupan umat
Islam, maka nilai-nilai universalitasnya masih memungkinkan untuk dapat dipakai
hingga akhir zaman. Oleh karena itu, kedua sumber ajaran Islam tersebut dapat
dijadikan dasar bagi pendidikan Islam.
Al-Qur’an
sebagai sumber nilai dari pedoman bagi ummat Islam memiliki system kehidupan
yang sempurna, karenanya dalam persoalan pendidikan yang merupakan aspek pokok
dalam kehidupan hampir dua pertiga dibicarakan dalam al-Qur’an.
Di dalam
al-Qur’an didapatkan pembahasan mengenai pendidikan bagi manusia. Kata “Rabbul
Alamin” dalam ayat “Alhamdu lillahi robbil Alamin” memiliki arti “murobbil
Alamin” (pendidikan alam semesta). Term “Tarbiyah” yang sering dipakai dalam
kalangan pendidikan Islam merupakan bantuan dari kata kerja “rabba – yurobbi
– tarbiyatan”; yang memiliki arti pendidikan dan pemeliharaan. Hal
ini digambarkan di dalam surat al-Isra: 24, yang artinya: “Ya Tuhanku
kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku semasa kecil”.
Karena al-Qur’an
memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas
dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Adalah mustahil jika
seseorang berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an
sebagai rujukannya.
Dengan demikian
dapat diperoleh suatu kejelasan bahwa pendidikan menurut al- Qur’an adalah
merupakan konsekuensi logis dari usaha pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik
dilihat dari kebutuhan fisiologis maupun psikologis yang memungkinkan tercapainya
perbaikan dan kualitas hidup manusia berdasarkan ajaran Islam melalui upaya pendidikan
yang bersumber dari ajarannya yang asli, yaitu al-Qur’an. Lebih dari itu al- Qur’an
juga merupakan tuntunan dan pedoman hidup manusia dalam berbagai bidang dan aspek
hubungan, termasuk di dalamnya hubungan yang berfungsi untuk membudidayakan sumber
daya manusia, yaitu melalui pendidikan.
Adapun term yang
selalu dipakai untuk istilah pendidikan ini, al-Qur’an menyebutnya dengan
istilah “Tarbiyah” (memelihara dan mendidik), meskipun oleh beberapa ahli
pendidikan penggunaan istilah ini kurang tepat. Namun yang pasti, al-Qur’an
dengan segenap konsep yang paripurna dan komprehensif telah memberikan
dasar-dasar pokok bagi acuan dan usaha pendidikan
yang mesti
dilakukan umat manusia menuju kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.
Hal ini berarti memastikan
manusia agar menjalani proses kehidupannya dengan usaha pendidikan yang baik
dan benar sesuai dengan tuntunan hidupnya, yang memiliki falsafah dasar yang
kuat serta tidak berubah-ubah, yakni landasan al-Qur’an sebagai acuan nilainya.
Pembinaan manusia,
atau—dengan kata lain—pendidikan al-Qur’an terhadap, anak didiknya dilakukan
secara bersamaan. Satu contoh sederhana adalah sikap al-Qur’an ketika
menggambarkan puncak kesucian jiwa yang dialami oleh seorang Nabi pada saat ia menerima
wahyu. Di sana al-Qur’an mengaitkan pelaku yang mengalami puncak kesucian
tersebut dengan suatu situasi yang bersifat material.
Dengan demikian,
konsep pendidikan yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan al- Sunnah itu adalah
pendidikan sepanjang hayat. Misalnya sifat pendidikan al-Qur’an adalah
“rabbani”, yakni yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT, yang oleh al-Qur’an
dijelaskan cirinya antara lain mengajarkan Kitab Allah, baik yang tertulis (al-
Qur’an), maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta mempelajarinya secara
terus menerus.
Adapun tujuan
Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dapat dijelaskan bahwa setiap
usaha pendidikan tentunya akan memiliki prinsip-prinsip yang mendasari
pendidikan itu berlangsung. Dasar pendidikannya sudah barang tentu harus sesuai
dengan model, proses dan orientasi pendidikan yang direncanakan.
Demikian pula
halnya dengan pendidikan dalam Islam, dengan melihat namanya saja (pendidikan
Islam) sudah nampak jelas bahwa pendidikan itu didasarkan pada sumber ajaran
Islam, yakni al-Qur’an sebagai sumber pokoknya, dan al-Sunnah dan ditambah
beberapa pemikiran para ahli di bidangnya.
Dalam hubungan
ini, Abdurrahman Shaleh Abdullah menjelaskan bahwa jika al- Qur’an memberikan
pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asasasas dasarnya
harus dapat memberikan petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak
mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an
sebagai satu-satunya rujukan.
Kutipan beberapa
ayat-ayat al-Qur’an dan dua sabda Nabi di atas, yang dijadikan rujukan dalam
merumuskan suatu tujuan pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah itu, antara lain:
1. Mengenalkan
manusia akan peranannya di antara sesama makhluk Allah dan tanggung jawab
pribadinya di dalam hidup ini.
2. Mengenalkan
manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3. Mengenalkan
manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya
serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam
tersebut.
4. Mengenalkan
manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.
5. Membimbing
manusia agar berakhlak baik, dan melarang berakhlak munafik.
6. Membimbing
manusia agar menjadi orang yang pintar dan mampu menjadi pemimpin yang tidak
menyesatkan masyarakat.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu
adalah menumbuhkan kemampuan dalam mengembangkan tiga kekuatan rohaniah pokok
pada manusia (trichotomi), yaitu untuk dapat berkomunikasi secara baik
dengan Tuhannya, dengan sesamanya, maupun dengan alam sekitarnya.
Kemampuan
berkomunikasi dengan Tuhan, manusia dan alam sekitarnya yang bermakna demikian
luas itulah tampak yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Dan dalam proses berkomunikasi dengan tiga aspek itu, al-Qur’an
dan al-Sunnah dilandasi dengan akhlak yang baik.
2. Percikan
Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pandangannya
terhadap dunia pendidikan, Imam al-Ghazali lebih banyak berorientasi pada
penekanan bathiniyah (aspek afektif) daripada berorientasi pada pengetahuan
inderawi belaka. Hal ini tampak dari buah karyanya seperti “Fatihat al- Kitab”,
“Ayyuh al-Walad” dan “Ihya Ulumuddin”.
Imam al-Ghazali
memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Hal ini terlihat dari tujuan-tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni:
(1) Insan Purna
yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan
(2) Insan Purna
yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di samping itu,
terdapat hal yang penting mendapat perhatian dalam mengkaji pemikiran Imam al-Ghazali
dalam bidang pendidikan ini, yaitu pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai
kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum
sesuai dengan proporsinya serta minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan demikian,
corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan itu cenderung sufistik dan lebih
banyak bersifat rohaniah. Karena menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu
lebih menekankan pentingnya menanamkan nilai moralitas yang dibangun dari sendiri-sendi
akhlak Islam.
Namun demikian,
al-Ghazali menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan hidup manusia. Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali adalah
sebagai kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada
agama, merupakan pendorong ketabahan di saat dalam kekurangan dan kesukaran.
Sedemikian agung Imam al-Ghazali memandang ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur
keberhasilan pendidikan Islam pada masa kini dan yang akan datang, sehingga Abdul
Razak Naufal menyebut Imam al-Ghazali sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan tentang
kejiwaan (Psikologi) di dunia ini. Hal ini sejalan dengan corak dan filsafat pendidikannya
yang bersifat sufistik atau kerohanian itu.
Lebih
spesifiknya pandang al-Ghazali tentang pendidikan itu antara lain dinyatakan: “Sesungguhnya
hasil ilmu itu ialah mendekatkan mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan
semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran
dengan malaikat tinggi …” “…Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu
yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Menurut analisis
Abidin Ibnu Rusn, Kata “hasil”, seperti tertera dalam kutipan pertama di atas,
adalah menunjukkan pada proses, dan kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan pada tujuan. Dan kata “ilmu” menunjukkan pada alat. Sedangkan pada
kutipan kedua di atas merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam
bentuk pengajaran.
Dengan demikian
pandangan al-Ghazali mengenai pendidikan Islam itu adalah sarana bagi
pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan berkakti kepadaNya.
Sehingga dalam pandangan al-Ghazali dinyatakan bahwa manusia yang dididik dalam
proses pendidikan hingga pintar, namun tidak bermoral, maka orang tersebut
dikategorikan sebagai orang bodoh, yang dalam hidupnya akan susah. Demikian pula
orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya sebagai orang yang binasa.
Pandangan ini berdasarkan penyataan Abu Darda, salah seorang sahabat Nabi, yang
dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya:
“Orang yang
berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebaikan. Dan manusia lain
adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau
belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak masuk salah
seorang dari ketiga itu), maka binasalah engkau”.
Berdasarkan
pernyataan ini al-Ghazali menekankan betapa pentingnya manusia itu berilmu dan
ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dengan kata lain, al- Ghazali
menghendaki bahwa pendidikan itu menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam. Karena
Islam menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat manusia. Dan dengan
pendidikan itu pula umat Islam dapat berproses hingga mencapai predikat sebagai
insan kamil, yakni manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi,
yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh Islam.
3. Pandangan
al-Ghazali tentang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan yang
boleh dikatakan sebagai bentuk rekayasa sosial (social engeneering) yang
telah dicanangkan oleh ajaran Islam dalam pembentukan masyarakat yang
bermartabat sebagai kebalikan dari masyarakat Jahiliyah, maka sudah tentu sumbernya
adalah dari ajaran Islam itu sendiri, yakni dari al-Qur’an dan al-Sunnah telah
disepakati oleh umat Islam (ijma jamai’) sebagai sumber pokok ajaran
Islam.
Berangkat dari
pemikiran ini, al-Ghazali yang dikenal luas sebagai Hujjah al- Islam,
dan telah bergumul langsung dengan pendidikan Islam itu, pemikirannya tentang
pendidikan dapat dicermati dalam kedua bukunya: Ihya’ Ulum al-Din dan
Ayyuh al- Walad.
Dalam kedua buku
ini, al-Ghazali menekankan pemikiran pendidikan itu harus mengedepankan
pembersihan jiwa dari noda-noda akhlak dan sifat tercela. Sebab, ilmu itu
merupakan bentuk ibadah hati, shalatnya nurani dan pendekatan jiwa menuju Allah
SWT”. Pandangan sufistik demikian itu, tampak berangkat dari krisis kepercayaan
al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional sebelumnya yang digumuli oleh
al-Ghazali, seperti kalam dan filsafat yang tidak memuaskan aspek religinya.
Al-Ghazali
memformulasikan teori kependidikannya dalam karya Ayyuh al-Walad. Namun
prinsip-prinsip pokok pendidikan di karya ini banyak yang sudah diungkapannya
dalam karya Ihya', sehingga sebagian yang ada dalam Ayyuh al-Walad itu
hanya merupakan pengulangan terhadap apa yang telah ada dalam Ihya'.
Pembicaraan
al-Ghazali mengenai pendidikan yang terdapat dalam Ihya' berkisar
pada tiga hal
pokok:
1. Penjelasan
tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan
2.
Pengklasifikasian ilmu-ilmu yang termasuk ke dalam program kurikuler.
3. Kode etik
bagi pendidik (guru) dan peserta didik.
Terkait dengan
hal pertama, al-Ghazali memaparkan serangkaian ar-gumenargumen naqli dan
aqli. Argumen-argumen naqli yang dikemukakan-nya mempunyai kesamaan
dengan argumen-argumen naqli yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Muslim
lain dalam karya-karya mereka, karena memang bersumber dari al-Qur’an, Hadis dan
pendapat para pakar yang sama.
Adapun
argumen-argumen naqli yang dikemukakannya banyak ber-beda dengan ahli
pendidikan lain; argumen-argumen naqlinya berorientasi pada tujuan
tunggal berupa pengarahan individu menuju kedekatan diri dengan Allah.
Dikatakannya, “… karena dunia merupakan sawah ladang bagi akhirat; ia adalah
wahana pengantar menuju Allah bagi orang-orang yang memang menjadikannya
sebagai alat dan sarana, tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal dan
tujuan.”
Dengan kerangka
pikir semacam itu, al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan itu merupakan keutamaan
bernilai manfaat yang bersifat internal, sehingga ia dicari karena manfaat
internalnya dan ia merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan di akhirat.
Selain itu, ia
juga merupakan “jalan” utama yang mengantarkan seseorang dekat dengan Allah
semulia-mulianya segala sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang dekat dengan-Nya.
Untuk bisa dekat dengan Allah seseorang perlu beramal dan seseorang tidak dapat
beramal dengan baik dan benar kecuali dengan ilmu pengetahuan mengenai
bagaimana cara beramal. Jadi, pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhir adalah
ilmu, sehingga merupakan amal yang terbaik. Sesuatu dapat diketahui kadar
keutamaannya melalui akibat (manfaat) yang ditimbulkan; sementara sudah
dimaklumi bahwa manfaat ilmu adalah kedekatan diri dengan Allah, para malaikat
dan kalangan orang-orang mulia lainnya di akhirat.
Adapun di dunia,
(hal yang bisa diraih dengan ilmu) adalah kemuliaan, kahormatan dan kewibawaan,
bahkan dari kalangan masyarakat pun, menghormati dan memuliakan guru-guru
mereka lantaran keilmuan yang dimiliki. Tidak hanya itu, hewan pun tunduk
kepada manusia lantaran memandang manusia lebih tinggi tingkatannya.
Inilah keutamaan
ilmu secara umum. Memang ada perbedaan dan hirarki keilmuan yang berimplikasi
pada variasi keutamaan masing-masing. Bila ilmu merupakan hal yang paling mulia,
maka mempelajari ilmu berarti menuntut sesuatu yang utama, dan mengajar tujuan
pokok hidup kita bermuara pada lingkup agama dan dunia. Harmoni agama
memerlukan har-moni “sawah ladang” akhirat (dunia) yang merupakan sarana menuju
Allah yang menjadikannya sebagai alat dan media, bukan bagi orang yang
menjadi-kannya sebagai orientasi dan tujuan hidup. Dan urusan dunia hanya dapat
diatur bila ada karya usaha (amal) manusia.
Dan pemikiran
al-Ghazali tentang keutamaan orang yang berilmu itu, terdapat relevansinya
dengan firman Allah, misalnya ayat yang menyatakan, artinya:…Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S.
al-Mujadalah, 58: 11).
Bahkan orang
yang mengabdikan dirinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dipandang oleh
Allah sebagai bentuk inventasi masa depan di akhirat kelak. Allah menyatakan: “Barangsiapa
yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh
pahala yang banyak” (Q.S. al-Hadid, 57: 11).
Itu sebabnya,
karya usaha (profesi) termulia setelah profesi kenabian adalah mengajarkan
ilmu, membersihkan jiwa manusia dari akhlak tercela dan merusak dan membimbing
mereka menuju akhlak terpuji dan menyejah-terakan. Profesi inilah yang disebut
al-Ghazali dengan ta’lim.(pengajaran). Menurut Muhammad Jawwad Ridha,mengurai
alasan profesi ini sebagai profesi termulia menurut al-Ghazali itu adalah berdasar
tiga hal. Yang merupakan parameter penilaian suatu profesi:
1. Intrumen daya
insani yang dipergunakannya. Ilmu pengetahuan intelektual lebih utama
dibandingkan ilmu pengetahuan kebahasaan, karena yang pertama menggunakan instrumen
daya insani akal, sedangkan yang kedua menggunakan instrumen daya insani sama’.
Akal lebih utama dibandingkan dengan sama’
2. Scop
kemanfaatannya seperti keutamaan pertanian atas penyablonan.
3. Objek yang
digarapnya, seperti keutamaan penyepuhan atas penyamakan, karena yang pertama
objeknya adalah emas, sedangkan yang kedua objeknya adalah kulit.
Jelaslah bahwa
ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan menuju akhirat hanya dapat diperoleh
dengan menggunakan kesempurnaan akal dan kejernihan pikir. Akal adalah instumen
daya insani yang termulia karena dengannyalah manusia menerima amanat dari
Allah dan dengannya juga manusia mendekatkan diri kepadaNya.
Dalam
hubungannya dengan kurikulum, al-Ghazali membagi ragam ilmu (sebagai program
kurikuler) menjadi dua bagian: Ilmu yang pardu ‘ain dan Ilmu yang pardu kifayah.
Sedangkan dalam hubungannya dengan ilmu yang pardu ‘ain, ia membaginya menjadi:
Ilmu mu’amalah (empiris praktis) dan Ilmu mukasyafah.
Dalam kitab
Ihya, al-Ghazali menuturkan beberapa kewajiban pendidik dan peserta didik yang
disebutnya sebagai “kode etik pendidikan ditemukan ada beberapa konklusi
edukatif yang mencirikan pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya,
antara lain sebagai berikut:
1. Kegiatan
menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridla Allah.
Karena, ilmu berfungsi membersihkan jiwa manusia dari ambisi dan tujuan yang
rendah. Ilmu menyeru pada keluhuran jiwa dan kemuliaan rohani.
2. Kode etik
tersebut memperkuat teori ilmu ilhami yang oleh al-Ghazali dijadikan sebagai
landasan teori pendidikannya. Pada banyak tempat ia menandaskan, bahwa ilmu
adalah cahaya yang dilimpahkan Allah ke dalam hati manusia.
3. Peneguhan
tujuan agamawi dalam kegiatan menuntut ilmu. Bahkan tujuan agamawi merupakan
tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
4. Terdapat poin
penting berupa pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Al-Ghazali menegaskan, “Ilmu merupakan keutamaan pada dirinya sendiri tanpa syarat.
Sebab, ia adalah atribut kesempurnaan yang dimiliki Allah dan dengannya pula
para Malaikat dan para Nabi menjadi mulia”.
Al-Ghazali juga
berpandangan “idealistik” terhadap profesi guru. Idealisasi guru, menurutnya,
adalah orang yang berilmu, beramal dan mengajar. Orang seperti ini adalah gambaran
orang yang terhormat di kolong langit. Dari sini al-Ghazali menekankan perlunya
keterpaduan ilmu dengan amal. Ia menyerupakan guru sejati dengan matahari yang
menyinari sekelilingnya, dan dengan minyak wangi (misk) yang membuat
harum di sekitarnya. Adapun orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya,
maka ia ibarat lembar kertas yang bermanfaat bagi lainnya, namun dirinya
sendiri kosong. Atau ibarat jarum yang menjahit baju untuk yang lain, sementara
dirinya sendiri justru telanjang. Atau ibarat lilin yang menerangi lainnya, namun
dirinya sendiri justru meleleh terbakar.
Berangkat dari
perspektif idealistik profesi guru tersebut, al-Ghazali menandaskan bahwa orang
yang sibuk mengajar merupakan orang yang “bergelut” dengan sesuatu yang amat
penting. Sehingga ia perlu menjaga etiket dan kode etik profesinya.
Demikianlah
prinsip-prinsip umum yang dikemukakan al-Ghazali ber-kenaan dengan teori
pendidikannya dalam kitab Ihya’. Namun demikian, konsep filosofis pendidikannya
tampak lebih banyak tertuang dalam kitab Ayyu al-Walad. Risalah Ayyuh
al-Walad, dalam bentuknya yang ringkas itu, terdiri dari pengantar dan
enam bagian pembahasan. Bagian pengantar merupakan prolog yang berisi seputar
nasihat dan perdebatan para filosof tentang tujuan ilmu, kaitan ilmu dengan
amal, ilmu sebagai ketaatan dan ibadah sebagai pelaksanaan tuntunan syara’.
Bagian pertama
meliputi pembahasan tentang kebenaran i’tikad, taubat, usaha menjauhi
debat kusir dalam masalah ilmu dan perolehan ilmu syar’i. Sementara
bagian kedua berisi seputar amal salih, pelatihan jiwa, remehnya dunia,
pembersihan jiwa dari sifat rakus (tamak) dan perlawanan terhadap syetan.
Adapun bagian
ketiga berisi tentang seputar pendidikan, yaitu terkait dengan pentingnya
pengikisan akhlak tercela dan penanaman akhlak terpuji. Bagian keempat mengulas
tentang etika peserta didik yang banyak kesamaan-nya dengan paparan al- Ghazali
dalam kitab Ihya’. Sementara bagian kelima memuat topik perihal penganut
sufi sejati, syarat-syarat keistiqamahan ber-sama Allah dan
ketenangan (al-sukun) bersama makhluk. Sedangkan bagian keenam
oleh al-Ghazali diisi dengan beberapa nasihat penting bagi para peserta
didik.
Keharusan mereka
memadukan antara ilmu dan amal; larangan berdebat kecuali untuk tujuan
mencari kebenaran; larangan terlalu “intim” dengan para penguasa;
larangan untuk menerima hadiah dari mereka, karena “keintiman” yang
seharusnya hanyalah dengan Allah dan dengan sesuatu yang diridlai-Nya melalui
ketekunan dalam berbuat kebaikan.
4. Relevansi
Pandangan al-Ghazali bagi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Islam Dewasa Ini
Keberhasilan dan
kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dinilai dari out put-nya,
yakni orang-orang sebagai produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan
orang-orang yang dapat bertanggung jawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan
tugas-tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain, maka pendidikan tersebut dapat dikatakan
berhasil.
Sebalilknya, bila
out put-nya adalah adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan
tugas
hidupnya,
pendidikan tersebut dianggap mengalami kegagalan.Ciri-ciri utama dari kegagalan
suatu proses itu ialah, manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung
mencari kerja dibandingkan dengan orang yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.
Kondisi demikian itu seperti terlihat dewasa ini, kemudian melahirkan berbagai
budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Hanya karena ingin mendapat kerja
yang layak, kemudian secara kondisional orang terpaksa
menyuap.
Sebaliknya,
orang yang tidak dapat bekerja yang dianggap sesuai dengan pendidikannya, juga
melakukan tindak budaya yang lebih tidak sehat lagi, misalnya, mencuri dan
tindakan negatif lainnya.
Secara inplisit
al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan itu adalah dalam upaya membentuk
insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai
hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia. Hal ini misalnya terlihat dalam nasihat
yang diberikan oleh al-Ghazali, yang diungkapkannya dalam uraian akhir buku Ayyuh
al-Walad.
Untuk mewujudkan
insan sempurna (insan kamil) seperti itulah tampaknya yang menjadi
tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali, yakni melalui pendidikan akal, pendidikan
kejiwaan (afeksi) dan pendidikan jasmani atau lebih dikenal dengan sebutan pendidikan
keterampilan.
Dalam sudut
pandang Ilmu Pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapatkan
perhatian yang serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan mendidik akal
manusia agar dapat berpikir dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk dari
Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, akal yang tidak mendapatkan pendidikan akan
berakibat langsung ataupun tidak langsung kepada pemiliknya untuk melakukan
hal-hal diluar kemampuannya.
Adapun mengenai
pendidikan hati seperti dikemukakan oleh al-Ghazali di atas, adalah merupakan
suatu keharusan bagi setiap insan. Dengan demikian keberadaan pendidikan bagi
manusia yang meliputi berbagai aspeknya adalah mutlak diperlukan bagi kesempurnaan
hidup manusia dalam upaya membentuk wujud pribadi manusia paripurna, berbahagia
di dunia dan di akhirat kelak.
Hal ini berarti
bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Imam al-Ghazali memiliki koherensi yang
dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan kepada pembentukan seluruh aspek
pribadi manusia secara utuh.
Demikian pula
secara umum, pandangan al-Ghazali tentang pendidikan Islam, tampak perlu
dicermati. Keutuhan pandangan al-Ghazali tentang ilmu misalnya, Nampak tidak
dikotomi seperti sekarang ini ada ilmu agama dan ilmu umum seperti itu.
Sehingga dari segi kualitas intelektual, secara umum umat Islam jauh tertinggal
dari umat yang lain.
Hal ini
barangkali salah satu dari akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan
yang dikotomis seperti itu.
D. KESIMPULAN
Beberapa
kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Pendidikan
Islam menurut Imam al-Ghazali adalah sarana perekayasaan sosial bagi umat Islam
yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup
manusia hingga mencapai insan kamil, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub) dalam arti kualitatif, dan kesempurnaan manusia yang bertujuan
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Pencapaian kesempurnaan
hidup melalui proses pendidikan itu juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam
itu sendiri.
2. Materi
pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali yang berdasarkan al-Qur’an dan al- Sunnah
itu ialah berisikan tentang berbagai macam ilmu pengetahuan sebagai sarana yang
menghubungkan hamba dengan Tuhannya, dengan itu ia mendekatkan diri secara kualitatif
kepada-Nya, dan dengan begitu si penuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat kelak.Namun yang menjadi prioritas materi yang terpenting
dari pendidikan Islam itu adalah bidang akhlak.
3. Metode
pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah
ialah mengandung pengertian yang sangat luas. Tidak hanya di tafsirkan sebagai
kegiatan mengajar saja kepada anak didik, namun lebih dari itu yang dimaksudkan
dengan metode pendidikan menurut Imam Al-Ghazali ini adalah juga menjadikan guru
(al-mu’allim) sebagai figur sentral untuk dapat dijadikan teladan bagi
anak didiknya.
Dalam hal ini,
metode pendidikan yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali adalah sejenis
pendidikan guru atau pelatihan guru (teacher education or trainning). Berdasarkan
uraian kesimpulan di atas, berikut ini beberapa implikasi bagi pengembangan
pendidikan Islam, antara lain sebagai sebagai berikut:
1. Pendidikan
agama Islam sebagai suatu sistem hendaklah diinterpretasikan sebagai satu
kesatuan yang utuh dan bulat terdiri dari berbagai komponen yang saling menunjang,
tidak dipisah-pisahkan.
2. Untuk
memahami tentang sistem pendidikan agama Islam dengan baik dan benar hendaknya
merujuk kepada acuan nilai yang mendasarinya, yaitu al-Qur’an dan al- Sunnah
supaya terhindar dari kekeliruan yang dibuat.
3. Di samping
penelaahan terhadap acuan nilai tersebut, diperlukan pula acuan lainnya, seperti
para pemikir pendidikan muslim lainnya, seperti Imam al-Ghazali. Oleh karena
itu pemikiran Imam al-Ghazali mengenai pendidikan Islam hendaknya dapat juga
dijadikan sandaran bagi pengembangan pendidikan itu, baik pendidikan yang bersirikan
agama maupun non agama. Dan bahkan al-Ghazali tidak membedakan sama sekali
ilmu-ilmu itu. Karena baginya ilmu adalah alat untuk mencapai
keridhaan Allah.
4. Upaya untuk
mengaktualisasikan pemikiran Imam al-Ghazali mengenai pendidikan hendaknya
diambil dari sumber rujukannya yang asli untuk menjaga keorsinilan pemikiran
tersebut. Dengan demikian, pemikiran Imam al-Ghazali ini hendaknya dijadikan
rujukan bagi pengembangan ilmu pendidikan di masa sekarang dan yang akan
datang, terutama pengembangan pendidikan bagi masyarakat Islam, yang
kualitasnya tidak pernah bisa mencapai ukuran berhasil yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Shaleh., Landasan
dan Tujuan Pendidikan Menurut al- Qur’an serta Implementasinya, Bandung:
Duponegoro, 1991.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad., al-Lu’lu
wal Marjan jilid 2, terjemahan Indonesia oleh H. Salim Bahresy, Surabaya:
Bina Ilmu, 1996.
Ahmad As-Sayid, Mahmud., Mendidik
Generasi Qur’ani, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1991.
Ahmad Hidayat, Pengembangan
Pendidikan Islam Menurut Imam Ghazali, Bandung: Puslit, 1997.
Ahmad, Jamil., Seratus Tokoh
Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Ahmadi Rn., Ali., Artikel:
“Bimbingan Akhlak Muslim” dalam Majalah Media Da’wah, Jakarta: DDII,
1987.
Ali, Hamdani., Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka kembang, 1987.
An-Nahlawi, Abdurrahman., Prinsip-prinsip
dan Metoda Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989.
Anshari, H.E. Saefudin., Wawasan
Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Al-Asqalani, Ibnu Hajjar., Fath
al-Bari, juz VI & XII, T.tp.: Dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah,
T.tp.
Al-Ghanimi al-Taftazani, Abu
al-Wafa’., Sufi dari Zaman ke zaman, Bandung: Pustaka, 1974.
Al-Ghazali, Imam., al-Munqidz
min al-Dhalal, Istambul: Darussafeka, T.th.
-----------,
Ihya ‘Ulum al-Din, jilid
I, al-Nasir Se-rikat an-Nur Asia, T.tp., T.th.
-----------, Ayyuh al-Walad,
Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, T.th.,
Al-Jurjani, Ali., al-Ta’rifat.,
Singapore: al-Haramain T.th.
Al-Mawla, Mohammad Jad., al-Khuluq
al-Kamil, Kairo: al-Maktabah, 1971
Al-Thohar Ben ‘Asyur, Syaikh
Muhammad., Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah,
1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar