oleh :Ihah Solihah
Perbandingan Pemikiran H.Abdul Malik Karim Amrullah (Buya
Hamka) dengan Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah (Muhammad Abduh)
I.
Biografi Tokoh
1.
Biografi H. Abdul Malik Karim
Imam
H.Abdul Malik Karim atau lebih dikenal dengan Buya Hamka lahir pada tahun
1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat.karir Buya Hamka di dunia
pendidikan dimulai dari mrngabdikan dirinya sebagai guru agama pada tahun 1927
di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun
1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.
Setelah itu,
beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau
menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi
meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi
pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Selain
sebagai orator Hamka juga aktif dalam organisasi Muhammadiyyah dan diangkat
menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Hamka juga
aktif sebagai wartawan, penulis juga editor. Karya-karyanya antara lain tafsir
al-Azhar, Pembela Islam (Tarikh Saidina
Abu Bakar Shiddiq),1929.Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).Ringkasan
tarikh Ummat Islam (1929). Karir Buya Hamka terus meningkat menjadi ketua
Majlis Ulama Indonesia Pada tahun
1977. Semasa jabatannya, Hamka
mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang
akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat
Nasrani.
Hamka
meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia
73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Buya
Hamka meninggal setelah mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI.
2.
Biografi Muhammad bin Abduh bin Hassan Khoirullah
Imam
Muhammad bin Abduh bin Hassan Khoirullah atau lebih dikenal dengan Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan
Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari
bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab.Mereka tinggal dan menetap
di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh
dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh, sehingga dalam proses belajar mengajar pun ditangani langsung oleh orang tuanya sendiri. Namun
setelah mahir membaca Al-Qur’an beliau dikirimkan kepada seorang guru oleh
ayahnya supaya diajarkan menghafal Al-Qur’an.
Pada tahun
1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang
pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa
beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta
tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar
berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk
selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali
menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku.
Setelah
mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi
di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk
belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid
Al-Ahmadi yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan
dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam
dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan
bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Situasi dan kondisi lingkungan beliau sangat kaku dan
beku, menutup rapat pintu ijtihad serta mengabaikan akal dalam menjalankan
syariat, kondisi ini menjadi kontradiktif dengan budaya eropa yang sangat
mendewakan akal pikiran tanpa memperhitungkan syariat.
Kondisi ini akan berpengaruh terhadap keadaan Mesir. Namun kondisi ini
dirasakan beliau setelah memasuki universitas Al-Azhar, disana terjadi dualitis
pandangan ulama, yakni ulama yang taqlid (pengikut) dan kelompok ini menjadi kelompok
mayoritas, sedangkan kelompok kedua yaitu ulama yang tajdid (pembaharu)
kelompok ini menjadi kelompok yang minoritas, dan beliau termasuk dalam
kelompok yang minoritas. Setelah memhasilkan beberapa karya beliau meninggal
dunia pada tahun 1905. Karyanya antara lain MANQUL DAN MA'QUL DALAM TAFSIR JUZ
'AMMA
II.
Pemikiran Pendidikan Islam
1. Menurut Buya
Hamka
A. Urgensi
pendidikan
Ada banyak
istilah yang dikemukakan ulama tentang pendidikan yakni: ta’lim,
tarbiyah dan ta’dib.
Hamka memposisikan
pendidikan sebagai proses (ta’lim) dan
menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah
kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan
Islam, baik vertikal maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan
dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun
rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan dan
kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk
Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka
bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara
harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif,
pandangan Hamka tarbiyah mengandung makna:
a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi)
peserta didik untuk mencapai
kedewasaan.
b.
Mengembangkan
seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama
bagi akal dan budinya).
c.
Mengarahkan
seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan
seoptimal mungkin.
d. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.
Pendidikan
menurut Buya Hamka terbagi kedalam dua kategori, yakni:
a.
Pendidikan
jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani serta,
b.
Pendidikan
ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan&
pengalaman yang didasarkan pada agama
Keduanya memiliki kecenderungan
untuk berkembang dengan melalui pendidikan,karena pendidikan merupakan sarana
yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur
tersebut.Dalam pandangan Islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik
sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak
saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”.Fitrah setiap manusia
pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan& tunduk mengabdi sebagai
kholifah fi al-ardh maupun ‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah
akal, hati, & pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga
unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun
peradabannya,memahami fungsi kekhalifahannya,serta menangkap tanda-tanda
kebesaran Allah.
B.
Tujuan pendidikan
Buya Hamka
membedakan makna pendidikan dan
pengajaran, menurutnya pendidikan
merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak,
budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa
membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk. Sedangkan pengajaran adalah upaya
untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Perbedaan
tersebut sebetulnya hanya terdapat dalam segi makna, namun secra esensinya
beliau tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan
saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses
pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan
akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses
pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses
pendidikan.
Adapun
tujuan pendidikan menurut Buya Hamka memiliki dua dimensi, yakni kebahagiaan
dunia dan kebahagiaan akhirat, untuk mencapai tujuan itu, manusia harus menjalankan
tugasnya dengan baik yakni beeeribadah kepada Allah SWT yang telah menciptakan
manusia, oleh karena itu segala pendidikan dan pengajaran akhirnya haruslah
memiliki tujuan yang menjadikan peserta didik menjadi abdi Allah.
C.
Tenaga pendidik
Pendidikan itu merupakan proses pengajaran yang sangat
kompleks, karena pendidikan bukan hanya proses perpindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowladge) tetapi juga
memiliki tugas untuk menjadikan peserta didik sebagai abdi Allah yang berakhlaqul
karimah. Untuk itu pendidikan memeliki kemestian untuk melibatkan banyak
pihak untuk memiliki andil dalam proses pengajaran tersebut, tidak hanya
terfokus kepada guru kelas di sekolahan formal. Adapun tenaga pendidika menurut
Buya Hamka yaitu:
·
Orang tua (Ibu Bapa)
Orang tua merupakan yang seharusnya banyak berperan
aktif terhadap pendidikan anak, orang tua diharapkan jangan hanya menyerahkan
pendidikan anaknya di sekolah belaka karena tempo di Sekolah tidak selama tempo
di rumah, setiap anak membutuhkan pendidikan dan pengajaran. Di Sekolah anak
hanya mendapatkan pegajaran sedangkan pendidikan didapatnya di rumah.
·
Guru
Menurut Hamka untuk menjadi seorang guru yang sukses
dalam pekerjaannya tidak hanya cukup memeiliki ilmu pengetahuan hasil studi
saja, tetapi seorang guru juga harus banyak pengalaman, juga harus menjaga
hubungan baik antar guru dan muridnya sehingga akan tercapan kondisi yang
harmonis yang akan berpengaruh tterhadap kegiatan belajar mengajar. Tidak hanya
itu seorang guru pun harus memiliki konsep, dan diantara konsepny yaitu: Pertama,mengembangkan
potensi (fitrah) peserta didik. Kedua,
mengembangkan pengajaran yang bersifat verbalistik. Ketiga, mencatat seluruh aktivitas peserta didik sebagai pedoman
untuk melakukan pembinaan dan proses pendidikan selanjutnya. Keempat, memformulasi kondisi yang
kondusif dalam mengembangkan sistim pendidikan secara efektif dan efesien,
serta meminimalisasi faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan
pendidikan Islam.
·
Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang
membutuhkan eksistensi orang lain untuk kelangsungan kehidupannya, untuk itu
masyarakat berperan aktif terhadap pendidikan yang sedang berlangsung. Melalui
bentuk komunitas yang harmonis, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas,maka
akan berpengaruh terhadap keberlangsungan pendidikan.
Dalam memformulasikan pendidikan diperlukan pendekatan
psikologis-sosiologis. Sehingga
dengan pendekatan ini pendidikan mampu memainkan perannya sebagai agent of change atau agent of social culture .
2. Menurut Muhammad Abduh
Muhhamad Abduh mulai mempunyai ketertarikan kepada
dunia pendidikan ketika beliau merasa prihatin terhadap dualisme pendidikan
yang terjadi di Mesir. Dualisme itu terjadi karena ada sebagian kelompok ulama yang tradisional sehingga menutup pintu ijtihad,
dan juga kelompok yang memakai budaya barat sebagai landasan dalam
pendidikannya. Situasi ini menjadikan munculnya dua kelas sosial yaitu kelas
sosial dan kelas tradisional. Kondisi ini juga menimbulkan dua motivasi, jika
kelas tradisional melahirkan para tokoh dan ulama sedangkan kelas elit dengan
budaya Baratnya melahirkan gererasi elit
yang mendewakan sistim dan perkembangan dari Barat tanpa memlalui filterisasi.
Muhammad Abduh berpeendapat bahwa kedua tipe pendidikan itu memiliki sisi
negatif, sehingga beliau merumuskan sendiri konsep pendidikannya.
A. Tujuan pendidikan
Untuk memberdayakan sistem pendidkan
Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan Islam yang di rumuskan
sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas
kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai
alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap
kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan
dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak
hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang
monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau
berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di
utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum
muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian
dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
B. Pembaharuan Pendidikan Islam
Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh reformasi umat
Islam diantara repormasinya yaitu dalam bidang pendidikan antara lain:
1)
Perlawanan
terhadap taqlid dan kemadzhaban.
2)
Perlawanan
terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran
rasional dan historis.
3)
Reformasi
al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam. Jika ia rusak maka rusaklah
umatnya, dan jika ia baik maka baik pula umat Islam.
4)
Menghidupkan
kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam
sejarah umatnya. Dan mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan
kondisi yang ada.
Sebagai
konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan
mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula mementingkan soal
pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan
modern diajarkan disamping ilmu agama. Pogram yang diajukannya sebagai pondasi
utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan
kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh
misionaris asing dan yang didirikan oleh pemerintah. Katanya di sekolah asing,
siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak
diajar agama sama sekali.
Abduh
memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencangkup
pendidikan univerrsal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuannya
harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.
Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan
menyoroti perbedaan Islam-Kristen
Kata
Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah
berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua kategori ilmu
tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak. Sesungguhnya kata Muhammad
Abduh bahwa kemajuan ilmu di mulai dari Timur baru ke Barat, kemudian saat ini
kita harus mengambil kembali ilmu-ilmu yang hilang dari kita, apalagi ilmu-ilmu
tersebut dikuasai oleh orang-orang di Barat. Dari penjelasannya tersebut, dapat
dipahami bahwa pada masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu modern itu berkembang di
negeri Barat yang pada awalnya berasal dari negeri Timur, maka ilmu yang hilang
itu harus dicari kembali dari negeri Barat.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Ia juga
memperhatikan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah untuk mendidik
tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ia berpendapat, perlu
dimasukkan didikan agama yang lebih kuat ke sekolah ini, termasuk mata
pelajaran sejarah Islam dan sejarah kebudayaan islam. Atas usahanya maka
didirikanlah Majelis Pengajaran Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya pada
dualisme pendidikan. Sistem madrasah lama akan melahirkan ulama’-ulama’yang
tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern, sedangkan sekolah-sekolah
Islam akan melahirkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama.
Dengan memasukkan ilmu pengetahuan ilmu modern ke dalam Al-Ahzar dan memperkuat
didikan agama di sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama’ dari
golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
Selain itu
Muhammad Abduh juga kurikulum-kurikulum yang berbeda sesuai dengan tingkatan
kelasnya, ada kurikulum tingkat Dasar, menengah dan juga tingkah atas. Semuanya
berbeda karena materi pelajarannya pun berbeda.
III. Perbadingan
konsep pendidikan
Jika kita
lihat konsep pendidikan Buya Hamka dan Muhammad Abduh tujuan pendidikan Islam
yang diusung kedua tokoh ini hampir sama, karena keduanya sama-sama
menitikberatkan sisi afektif yang menginginkan peserta didik mempunyai akhlaqul karimah. Namun untuk hal lain
sangat mungkin ada perbedaan, karena situasi dan kondisi yang dialami kedua
tokoh ini sangat berbeda. Buya Hamka dan Muhammad Abduh sama-sama sebagai tokoh
reformasi bagi umat Islam khususnya dalam dunia pendidikan, namun
pembaharuannya berbeda.
Daftar pustaka
Suwito dan Fauzan.2003 sejarah. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
Abdurachman Asseqaf Suyadi.2002. Pendidikan
Islam mazhab kritis. Yogyakarata: Gama Media.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Hamka, Rusydi, Pribadi dan
Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Pustaka Panjimas, cetakan pertama
Desember 1981, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar