Laman

Senin, 22 Juli 2013

Perbandingan Pemikiran H.Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dengan Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (Muhammad Abduh)

oleh     :Ihah Solihah


Perbandingan  Pemikiran H.Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dengan  Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (Muhammad Abduh)
                  I.            Biografi Tokoh
1.      Biografi H. Abdul Malik Karim
Imam H.Abdul Malik Karim atau lebih dikenal dengan Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat.karir Buya Hamka di dunia pendidikan dimulai dari mrngabdikan dirinya sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.
Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Selain sebagai orator Hamka juga aktif dalam organisasi Muhammadiyyah dan diangkat menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Hamka juga aktif sebagai wartawan, penulis juga editor. Karya-karyanya antara lain tafsir al-Azhar,  Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). Karir Buya Hamka terus meningkat menjadi ketua Majlis Ulama Indonesia Pada tahun 1977. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani.
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Buya Hamka meninggal setelah mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI.
2.      Biografi Muhammad bin Abduh bin Hassan Khoirullah
Imam Muhammad bin Abduh bin Hassan Khoirullah atau lebih dikenal dengan  Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab.Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh, sehingga dalam proses belajar mengajar pun ditangani langsung oleh orang tuanya sendiri. Namun setelah mahir membaca Al-Qur’an beliau dikirimkan kepada seorang guru oleh ayahnya supaya diajarkan menghafal Al-Qur’an.
 Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Situasi  dan kondisi lingkungan beliau sangat kaku dan beku, menutup rapat pintu ijtihad serta mengabaikan akal dalam menjalankan syariat, kondisi ini menjadi kontradiktif dengan budaya eropa yang sangat mendewakan akal pikiran tanpa memperhitungkan syariat.

Kondisi ini akan berpengaruh terhadap keadaan Mesir. Namun kondisi ini dirasakan beliau setelah memasuki universitas Al-Azhar, disana terjadi dualitis pandangan ulama, yakni ulama yang taqlid (pengikut) dan kelompok ini menjadi kelompok mayoritas, sedangkan kelompok kedua yaitu ulama yang tajdid (pembaharu) kelompok ini menjadi kelompok yang minoritas, dan beliau termasuk dalam kelompok yang minoritas. Setelah memhasilkan beberapa karya beliau meninggal dunia pada tahun 1905. Karyanya antara lain MANQUL DAN MA'QUL DALAM TAFSIR JUZ 'AMMA

               II.            Pemikiran Pendidikan Islam

1.      Menurut Buya Hamka

A.    Urgensi pendidikan

Ada banyak istilah yang dikemukakan ulama tentang pendidikan yakni: ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Hamka memposisikan pendidikan sebagai proses (ta’lim) dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih kompre­hensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun hori­zontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan Hamka tarbiyah mengandung makna:
a.       Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai          kedewasaan.
b.      Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
c.       Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
d.      Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.

Pendidikan menurut Buya Hamka terbagi kedalam dua kategori, yakni:

a.       Pendidikan jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani serta,

b.      Pendidikan ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan& pengalaman yang didasarkan pada agama

      Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan melalui pendidikan,karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.Dalam pandangan Islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”.Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan& tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh maupun ‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, & pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya,memahami fungsi kekhalifahannya,serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.
B.     Tujuan pendidikan
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Perbedaan tersebut sebetulnya hanya terdapat dalam segi makna, namun secra esensinya beliau tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan menurut Buya Hamka memiliki dua dimensi, yakni kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat, untuk mencapai tujuan itu, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yakni beeeribadah kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia, oleh karena itu segala pendidikan dan pengajaran akhirnya haruslah memiliki tujuan yang menjadikan peserta didik menjadi abdi Allah.
C.     Tenaga pendidik
Pendidikan itu merupakan proses pengajaran yang sangat kompleks, karena pendidikan bukan hanya proses perpindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowladge) tetapi juga memiliki tugas untuk menjadikan peserta didik sebagai abdi Allah yang berakhlaqul karimah. Untuk itu pendidikan memeliki kemestian untuk melibatkan banyak pihak untuk memiliki andil dalam proses pengajaran tersebut, tidak hanya terfokus kepada guru kelas di sekolahan formal. Adapun tenaga pendidika menurut Buya Hamka yaitu:
·         Orang tua (Ibu Bapa)
Orang tua merupakan yang seharusnya banyak berperan aktif terhadap pendidikan anak, orang tua diharapkan jangan hanya menyerahkan pendidikan anaknya di sekolah belaka karena tempo di Sekolah tidak selama tempo di rumah, setiap anak membutuhkan pendidikan dan pengajaran. Di Sekolah anak hanya mendapatkan pegajaran sedangkan pendidikan didapatnya di rumah.
·         Guru
Menurut Hamka untuk menjadi seorang guru yang sukses dalam pekerjaannya tidak hanya cukup memeiliki ilmu pengetahuan hasil studi saja, tetapi seorang guru juga harus banyak pengalaman, juga harus menjaga hubungan baik antar guru dan muridnya sehingga akan tercapan kondisi yang harmonis yang akan berpengaruh tterhadap kegiatan belajar mengajar. Tidak hanya itu seorang guru pun harus memiliki konsep, dan diantara konsepny yaitu: Pertama,mengembangkan potensi (fitrah) peserta didik. Kedua, mengembangkan pengajaran yang bersifat verbalistik. Ketiga, mencatat seluruh aktivitas peserta didik sebagai pedoman untuk melakukan pembinaan dan proses pendidikan selanjutnya. Keempat, memformulasi kondisi yang kondusif dalam mengembangkan sistim pendidikan secara efektif dan efesien, serta meminimalisasi faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan Islam.
·         Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang membutuhkan eksistensi orang lain untuk kelangsungan kehidupannya, untuk itu masyarakat berperan aktif terhadap pendidikan yang sedang berlangsung. Melalui bentuk komunitas yang harmonis, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas,maka akan berpengaruh terhadap keberlangsungan pendidikan.
Dalam memformulasikan pendidikan diperlukan pendekatan psikologis-sosiologis. Sehingga dengan pendekatan ini pendidikan mampu memainkan perannya sebagai agent of change atau agent of social culture .
2.     Menurut Muhammad Abduh
Muhhamad Abduh mulai mempunyai ketertarikan kepada dunia pendidikan ketika beliau merasa prihatin terhadap dualisme pendidikan yang terjadi di Mesir. Dualisme itu terjadi karena  ada sebagian kelompok ulama yang  tradisional sehingga menutup pintu ijtihad, dan juga kelompok yang memakai budaya barat sebagai landasan dalam pendidikannya. Situasi ini menjadikan munculnya dua kelas sosial yaitu kelas sosial dan kelas tradisional. Kondisi ini juga menimbulkan dua motivasi, jika kelas tradisional melahirkan para tokoh dan ulama sedangkan kelas elit dengan budaya  Baratnya melahirkan gererasi elit yang mendewakan sistim dan perkembangan dari Barat tanpa memlalui filterisasi. Muhammad Abduh berpeendapat bahwa kedua tipe pendidikan itu memiliki sisi negatif, sehingga beliau merumuskan sendiri konsep pendidikannya.
A.    Tujuan pendidikan
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan Islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.

Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.

Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
B.     Pembaharuan Pendidikan Islam
Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh reformasi umat Islam diantara repormasinya yaitu dalam bidang pendidikan antara lain:
1)      Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
2)      Perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
3)      Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam. Jika ia rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka baik pula umat Islam.
4)      Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan disamping ilmu agama. Pogram yang diajukannya sebagai pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing dan yang didirikan oleh pemerintah. Katanya di sekolah asing, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali.
Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencangkup pendidikan univerrsal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuannya harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan Islam-Kristen
Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak. Sesungguhnya kata Muhammad Abduh bahwa kemajuan ilmu di mulai dari Timur baru ke Barat, kemudian saat ini kita harus mengambil kembali ilmu-ilmu yang hilang dari kita, apalagi ilmu-ilmu tersebut dikuasai oleh orang-orang di Barat. Dari penjelasannya tersebut, dapat dipahami bahwa pada masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu modern itu berkembang di negeri Barat yang pada awalnya berasal dari negeri Timur, maka ilmu yang hilang itu harus dicari kembali dari negeri Barat.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Ia juga memperhatikan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ia berpendapat, perlu dimasukkan didikan agama yang lebih kuat ke sekolah ini, termasuk mata pelajaran sejarah Islam dan sejarah kebudayaan islam. Atas usahanya maka didirikanlah Majelis Pengajaran Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya pada dualisme pendidikan. Sistem madrasah lama akan melahirkan ulama’-ulama’yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern, sedangkan sekolah-sekolah Islam akan melahirkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan ilmu modern ke dalam Al-Ahzar dan memperkuat didikan agama di sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama’ dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
Selain itu Muhammad Abduh juga kurikulum-kurikulum yang berbeda sesuai dengan tingkatan kelasnya, ada kurikulum tingkat Dasar, menengah dan juga tingkah atas. Semuanya berbeda karena materi pelajarannya pun berbeda.
      III.     Perbadingan konsep pendidikan
Jika kita lihat konsep pendidikan Buya Hamka dan Muhammad Abduh tujuan pendidikan Islam yang diusung kedua tokoh ini hampir sama, karena keduanya sama-sama menitikberatkan sisi afektif yang menginginkan peserta didik mempunyai akhlaqul karimah. Namun untuk hal lain sangat mungkin ada perbedaan, karena situasi dan kondisi yang dialami kedua tokoh ini sangat berbeda. Buya Hamka dan Muhammad Abduh sama-sama sebagai tokoh reformasi bagi umat Islam khususnya dalam dunia pendidikan, namun pembaharuannya berbeda.

                                                                                                            

Daftar pustaka

Suwito dan Fauzan.2003 sejarah. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa

Abdurachman Asseqaf Suyadi.2002. Pendidikan Islam mazhab kritis. Yogyakarata: Gama Media.

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang

Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Pustaka Panjimas, cetakan pertama Desember 1981, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar