oleh :
1) Ihah Solihah
2) Ucu Susanti
3) Siti Nur Hayati
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Secara naluriah manusia tidak bisa
dilepaskan dari makhluk lainnya, karena manusia merupakan makhluk sosial yang
tak mampu hidup sendirian, esensi manusia sebagai makhluk
sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya
adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di
dalam kebersamaan. Kewajiban kebersamaan ini bisa diaplikasikan dengan cara
saling menolong, saling menghargai, saling memberi dan hubungan sosial lainnya.
Islam merupakan salah satu agama yang sangat menganjurkan berhubungan baik
antar sesama, namun pada relitanya banyak orang yang kurang peka terhadap
kepedulian sosial ini, sehingga menjadikan tatanan sosial yang tidak seimbang,
maka terjadilah perilaku negatif yang membahayakan keterjalinan hubungan sosial
antara individu dengan individu yang mengakibatkan kurangnya keharmonisan dalam
pergaulan. Maka alangkah ironisnya jika umat Islam antipati terhadap sosial.
Disisi lain seorang muslim mempunyai
karakter dan kewajiban yang sama besarnya dengan hablum minallah yaitu
hablum minannas atau hubungan dirinya dengan sesama manusia.
Hubungan tersebut merupakan hubungan yang lebih kompleks karena hubungan ini
melibatkan banyak pihak yang besifat relatif serta penuh dengan dinamika. Oleh
sebab harus diingat bawa manusia itu makhluk yang dibekali rasa, karsa dan periksa. Sehingga segala tindak-tanduknya tak
akan terlepas dari ketiga faktor tersebut.
Manusia selain mempunyai tugas untuk menjaga
hubungan baik antar sesama namun juga terhadap lingkungan hidup sekitar kita,
karena jika lingkungan sehat maka akan terbentuk genersi sehat yang akan
menjadi guru bagi peradaban dunia.
Menurut Suparno (2004:84), sikap kepedulian lingkungan ditunjukkan dengan adanya peghargaan terhadap
alam. Hakikat penghargaan terhadap alam adalah kesadaran bahwa manusia menjadi
bagian alam, sehingga mencintai alam juga mencintai kehidupan manusia.
Mencintai lingkungan hidup dan alam haruslah diarahkan agar ada sikap untuk
mencintai kehidupan. Jika semua orang mencintai lingkungan hidup dan alam, maka
semua orang akan peduli untuk memelihara kelangsungan hidup lingkungan, tidak
pernah merusak dan mengeksploitasi sehingga di kemudian hari tercipta
lingkungan yang menguntungkan semua manusia yang termasuk bagian dari
lingkungan tersebut.
Untuk itu penting bagi kita untuk
mampu menjaga hubungan baik dengan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial
untuk menciptakan kepedulian yang sangat besar. Jika kita lihat fenomena
sekarang ini, banyak sekali bencana alam yang terjadi, mulai dari tanah
longsor, banjir bandang, kebakaran hutan, dll. Semua itu tidak terlepas dari
pada ulah tangan manusia itu sendiri yang lebih mementingkan ego daripada
kemaslahatan bersama. Tapi tidak semua manusia punya ego yang sama, ada juga
sebagian manusia yang terus berjuang tanpa lelah untuk memperjuangkan hak alam
untuk dimanfaatkan bukan di rusak atau bahkan ditelantarkan. Biasanya orang
yang peduli akan Kepedulian lingkungan
dapat dinyatakan dengan sikap mendukung atau memihak terhadap lingkungan, yang
dapat diwujudkan dalam kesediaan diri untuk menyatakan aksi-aksi yang dapat
meningkatkan dan memelihara kualitas lingkungan dalam setiap perilaku yang
berhubungan dengan lingkungan. Dari pengertian ini dapat dikatakan pula kepedulian lingkungan seseorang
rendah jika seseorang tidak mendukung atau tidak memihak terhadap lingkungan. Bagi
sebagian orang, bukan hanya perhatian fisik yang ditunjukan sebagai kepedulian
terhadap lingkungan ataupun sosial, namun juga bisa dengan karya, seperti
syair-syair atau lirik lagu yang bertemakan tentang lingkungan alam maupun
sosial.
Dari latar belakang diatas, kita bisa
ambil rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagi berikut :
a.
Memahami arti kepedulian sosial
b.
Mengetahui arti kepedulian lingkungan
c.
Mengetahui hukum tentang syair
d.
Memahami korelasi antara kepedulian sosial, lingkungan, serta syair
dengan pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Kepedulian sosial
a.
Memperhatikan kesulitan orang lain
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى
قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ
عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ
عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ. . . . . .
Artinya :
“Dari Abu
Hurairah r.a katanya : Bersabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang menolong
orang mu’min dari kesusahan dunia, niscaya Tuhan akan menolongnya dari kesusahan-kesusahan
hari kiamat, dan barang siapa yang menyokong orang mu’min, Tuhan akan
menyokongnya pula di dunia dan akhirat, dan barang siapa yang menutupi cela
orang Islam, Tuhan akan menutupi pula celanya di dunia dan akhirat, dan Allah
senantiasa menolong hambanya selama hamba itu suka menolong saudaranya. . . . .
(H.R. Shahih Muslim)[1][1]
Makna
Mufradat
كُرْبَةً :
menolong
(dari kesusahan) orang mu’min
يَسَّر : menyokong
maksudnya di sini adalah memberi kemudahan kepada orang yang mendapat kesulitan,
dalam konteks ini misalnya terlilit hutang.
سَتَر :menutupi
cela atau keburukan (aib) orang lain
عَوْن : menolong
Syarah Hadits
Ini adalah
hadits yang agung, karena merupakan kumpulan dari bermacam-macam ilmu, kaidah
dan adab-adab yang berkaitan dengan keutamaan mencukupi kebutuhan kaum muslimin
dan memberikan kemanfaatan bagi mereka dengan memudahkan untuk mendapatkan
ilmu, harta, pertolongan atau menunjukkan sesuatu yang mengandung kemaslahatan,
nasehat dan lain-lain.[2][2]
a. Barang siapa yang menolong orang
mu’min dari kesusahan dunia, niscaya Tuhan akan menolongnya dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat
Makna dari
melepaskan kesusahan adalah menghilangkan kesusahan.[3][3] Ibnu Rajab
berkata bahwa meringankan kesusahan seseorang dapat diwujudkan dengan
menghilangkan segala hal yang membuatnya sedih.[4][4] Hal ini
dapat dilakukan dengan banyak cara, karena ia mencakup segala sesuatu yang
melepaskan seseorang dari kesulitan hidup.
Dalam hadits
ini tidak disebutkan balasan dari suatu kebaikan di dunia adalah sebuah
kebaikan pula di akhirat. Tetapi kesusahan akhirat mencakup berbagai
keadaan-keadaaan sulit dan ketakutan yang amat dahsyat. Menurut Imam An-Nawawi,
hadits ini juga menjanjikan orang yang meringankan kesusahan saudaranya, bahwa
ia akan diwafatkan dalam keadaan islam. Ini merupakan janji pahala di akhirat,
dan kaum mukminin harus percaya sepenuh hati dengan janji tersebut.
b. Barang siapa
yang menyokong orang mu’min, Tuhan akan menyokongnya pula di dunia dan akhirat.
Menyokong yang dimaksud di sini yakni memberikan
kemudahan kepada orang lain. Menurut Ibnu Rajab, kemudahan yang diberikan
kepada orang yang berhutang, dapat diwujudkan dengan salah satu (dari 2) cara,
yakni :
1. Mungkin
memberinya tenggang waktu dan hal ini adalah sesuatu yang wajib
2. Atau mungkin
pula memutihkan utang tersebut atau dengan memberikan sesuatu yang meringankan
ia dari beban utangnya.
Dalam al-Qur’an telah disebutkan firman Allah Ta’ala : “Dan jika orang yang berhutang itu
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan sebagian atau semua utang itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
Jadi, pemberian tenggang waktu terhadap seorang yang
berhutang (atau membebaskan ia dari utangnya) merupakan sebab utama tercapainya
janji Allah Ta’ala, yaitu kemudahan
urusan di dunia dan di akhirat.
c. Barang siapa menutupi aib seorang
muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.
Sabda Nabi
Muhammad SAW “Barangsiapa yang menutupi
aib seorang muslim” maksudnya menutupi aib orang yang baik, bukan
orang-orang yang telah dikenal suka berbuat kerusakan. Hal ini berlaku dalam
kaitannya dengan dosa yang telah terjadi dan telah berlalu.
Namun
apabila kita melihat suatu kemaksiatan dan seseorang sedang mengerjakannya maka
wajib bersegera untuk mencegahnya dan menahannya. Jika dia tidak mampu, boleh
baginya melaporkannya kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan muncul mafsadah
(yang lebih besar).
Terhadap
orang yang telah terang-terangan melakukan maksiat tidaklah perlu
ditutup-tutupi karena menutup-nutupinya menyebabkan ia melakukan kerusakan dan
bebas menganggu serta melanggar hal-hal yang ham dan akhirnya dapat menarik
orang lain untuk melakukan sebagaimana yang ia lakukan. Bahkan hendaknya ia
melaporkannya kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan timbulnya mafsadah. [5][5]
d. Allah senantiasa menolong hambanya
selama hamba itu suka menolong saudaranya
Sabda Nabi “Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selagi
hamba-Nya mau menolong saudaranya” kalimat ini sangat global untuk
ditafsirkan hanya saja di antara pengertiannya adalah apabila seorang hamba
bertekad untuk menolong saudaranya maka sudah selayaknya untuk tidak bakhil
dalam memberikan bantuan berupa perkataan ataupun membela dalam kebenaran
disertai keimanan bahwa Allah akan menolongnya.
Hadits pada
point ini menunjukkan bahwa Allah ta’ala membantu siapa saja yang menolong saudaranya;
baik dalam menyelesaikan hajat-hajat mereka ataupun hajatnya sendiri. Mereka
mendapatkan pertolongan Allah yang tidak mereka dapatkan kecuali dengan
menolong saudaranya tersebut. Meskipun Allah merupakan penolong hakiki bagi
seorang hamba pada setiap urusannya; tetapi jika dia (sesama muslim) menolong
saudaranya, maka niscaya perbuatannya itu menjadi sebab bertambahnya
pertolongan Allah kepadanya.
2.
Kepedulian Lingkungan
A.
Larangan Menelantarkan Lahan
حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ,
فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ
ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ
فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.
Artinya
: “ Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari
kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu
(untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua.
Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia
tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia
enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR.
Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah).
Selain dari hadits diatas, ada juga hadits yang bersumber
dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله
عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ
فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Antara kedua tersebut terdapat
persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori. Sedangkan
perbedaannya adalah sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam
kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam
kitab Al-Muzara’ah.
Dari ungkapan Nabi Saw. dalam hadits
diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau
menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung
pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki)
tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum.
Memanfaatkan lahan yang kita
miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna
untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal
ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap
lingkungan. Allah Swt telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan
segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti
diungkapkan dalam firman-Nya Q.S. Al-Baqarah:29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ
اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ.”
“Dialah Allah yang menciptakan segala apa yang ada di
bumi ini untukmu, krmudian ia menuju ke langit, lalu dia menyempurnakannya
menjadi tujuh langit. Dan Dia maha mengetahui atas segala sesuatu”
Dalam hadits dari Jabir di atas
menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi Saw. memanfaatkan lahan yang
mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan
sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat
oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat,
maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak
sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila
tidak sanggup mengolahnya.
Dari penjabaran di atas dapat
disimpulkan bahwa Rasulullah berpesan kepada ummatnya agar tidak menelantarkan
lahan atau tanah kosong. Sebisa mungkin kita harus memanfaatkan lahan tersebut
dengan menanaminya agar dapat bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain.
Jika tidak kita bisa menyerahkan lahan tersebut kepada orang lain untuk diolah
dengan baik.
B. Penanaman Pohon langkah terpuji
حَدِيْثُ اَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: مَامِنْ مُسْلِمٍ
يَغْرِسُ اَوْيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْاِنْسَانٌ
اَوْبَهِيْمَةٌ اِلاَّكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. (اخرجه
البخارى فى كتاب المزاعة)
“ Hadits dari Anas r.a. dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang
pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau
binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan
sedekahnya “. (HR. Imam Bukhori)
Pada dasarnya Allah Swt. telah melarang kepada manusia agar
tidak merusak hutan, hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat
11 :
وَاِذَا
قِيْلَ لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِى الاَرْضِ…
“
Dan apabila dikatakan kepada mereka : Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka
bumi”.
Dan ada lagi dalam surat Al-Baqoroh
ayat 204-205, yang terjemahannya :
“ Dan di antara manusia ada orang
yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang
paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
Dalam ayat di atas, Allah
menjelaskan sifat-sifat orang munafiq dan tindakannya di muka bumi ini.
Informasi yang disampaikan Al-Qur’an bahwa sebagian dari manusia, kata-kata dan
ucapannya tentang kehidupan dunia menarik sekali, sehingga banyak yang terpedaya.
Ia pintar dan pandai menyusun kata-kata dengan gaya yang menawan[6]
Orang munafiq seperti inilah yang selalu merusak bumi. Tanam-tanaman dan
hutan-hutan menjadi rusak, lingkungan dicemari, buah-buahan dan binatang ternak
dibinasakan. Apalagi kalau mereka sedang berkuasa, dimana-mana mereka berbuat
sesuka hatiny surat Ar-Rum ayat 41:
يَرْجِعُونَ ا لَعَلَّهُمْ عَمِلُوالَّذِي بَعْضَ لِيُذِيقَهُمْ النَّاسِ أَيْدِي كَسَبَتْ بِمَا وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي الْفَسَادُ ظَهَرَ
“Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu.
kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”(Ar-Ruum:21)
Pada ayat ini sudah jelas bahwa
Allah telah memperingatkan tentang kerusakan yang terjadi di alam dunia ini,
baik di darat, laut maupun udara adalah akibat ulah perbuatan manusia itu
sendiri. Kerusakan di darat seperti rusaknya hutan, hilangnya mata air,
tertimbunnya danau-danau penyimpan air, lenyapnya daerah-daerah peresap air
hujan dan sebagainya. Kerusakan di laut seperti pendangkalan pantai,
menghilangkan tempat-tempat sarang ikan, pencemaran air laut karena tumpahan
minyak, dan lain sebagainya. Allah memperingatkan itu, karena dampak negatifnya
akan dirasakan manusia itu sendiri.
Tidak sepantasnyalah alam ini
dirusak karena ini merupakan salah satu karunia Tuhan, untuk itu seharusnyalah
manusia harus memperbaiki dan memanfaatkannya, hal ini sebagaimana firman Allah
S.w.t. dalam surat Al-An’am ayat 141-142 yang artinya :
“ Dan dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk
pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang Telah
diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dekade terakhir ini, pemerintah
Indonesia terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana
kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik melalui media visual,
maupun audio-visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan, dan
tertempel di mobil-mobil dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program
tersebut. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintahnya telah mencanangkan
program penghijauan dengan tema “South Sulawesi Go Green” (Sulawesi
Selatan Menuju Penghijauan). Sebagian orang menyangka bahwa
program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi
Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung
program tersebut. Kita mungkin masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari
Nabi Saw. beliau bersabda:
“Jika seorang manusia meninggal
dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah
jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang
mendo’akan kebaikan baginya”.
(HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199))
Perhatikan, satu diantara perkara
yang tak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah
meninggal dunia adalah Sedekah Jariyah, sedekah yang terus mengalir pahalanya
bagi seseorang. Para ahli ilmu menyatakan bahwa sedekah jariyah memiliki banyak
macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan
atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman
pangan, dan lainnya[7].
Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah
dan amal jariyah bagi kita (walau telah meninggal) selama tanaman itu tumbuh
atau berketurunan.
Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah Azza
wa Jalla, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan
hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu
diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka
kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil
tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita. Penghijauan merupakan amalan sholeh
yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu
kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang
muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi
manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan,
batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah
terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang
melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin,
membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak
lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran
sempit ini. Jika demikian banyak manfaat dari Reboisasi, maka tak heran
jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya[8]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
menanam pohon sangatlah banyak manfaatnya. Salah satunya adalah untuk kebutuhan
makhluk hidup.
C. Larangan BAK di Air
Tergenang
عَنْ
أبى هريرة رَضي الله عَنْهُ أنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسلَّمَ
قَالَ: ” لا يَبولَنَّ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ الذي لا يَجْرِى، ثُمَّ
يَغْتَسِلُ مِنْهُ “.
ولمسلم
” لا يَغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُب “.
Yang artinya: Dari Abu Hurairoh RA bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak
mengalir kemudian dia mandi di dalamnya.” Dan dalam riwayat Imam Muslim : “Janganlah
seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika
dalam keadaan junub.”[9]
Nabi telah memberikan larangan agar
tidak kencing di dalam air yang menggenang yang tidak mengalir, seperti waduk,
kolam air, dan anak sungai-anak sungai yang terdapat di tanah
terbuka. Juga di sumber air yang mana orang-orang mengambil air darinya.
Agar tidak mengotorinya dan membuat mereka membenci hal tersebut. Karena
hal-hal yang kotor ini menjadi sebab tersebarnya penyakit yang mematikan. Jika
keadaan air itu mengalir, maka tidak apa-apa untuk mandi atau kencing di
dalamnya. Adapun yang lebih baik adalah menghindari hal tersebut (kencing)
karena ketiadaan manfaat padanya karena ditakutkan akan mencemarinya juga
membahayakan bagi orang lain.
Para ulama’ berbeda pendapat, apakah
larangan ini sebagai bentuk keharaman ataukah hanya sebagai suatu hal ayang
dibenci?
Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa
hal ini sebagai suatu yang dibenci (makruh). Sedangkan kalangan Hanabilah dan
penganut madzhab Dhahiri berpendapat bahwa hal ini sebagai pengharaman. Dan
sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal ini, haram jika (jumlah airnya) sedikit
akan tetapi makruh jika banyak (airnya).
Adapun secara dhahir, pengharaman
berlaku jika keadaan air sedikit maupun banyak, akan tetapi dikhususkan dari
hal itu air-air yang melimpah menurut kesepakatan para ulama’.
Dan mereka juga berselisih pendapat
pada air yang telah dikencingi, apakah air itu tetap suci atau telah bernajis?.
Jika keadaan air telah berubah karena najis, maka ijma’ para ulama sepakat
bahwa itu najis, sedikit maupun banyak.
Adapun jika tidak berubah karena
najis sedangkan airnya itu banyak, maka ijma’ menetapkan bahwa air itu masih
suci. Dan jika sedikit dan tidak berubah karena najis, para Ulama’ seperti Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Al Hasan Al Bashri, Sa’id Ibnu Musayyib, Imam Ats Tsauri,
Abu Dawud, Imam Malik dan Imam Bukhari berpendapat bahwasannya tidak adanya
najis dalam keadaan seperti itu.
Dan Imam Al Bukhari telah
menyebutkan beberapa hadits sebagai bantahan pada siapa yang mengatakan
bahwasanya air itu telah bernajis. Sedangkan Ibnu Umar, Mujahid, Al Hanafiyah,
Asy Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwasannya air itu bernajis karena
air itu telah bersatu/bertemu dengn najis walaupun tidak berubah, meskipun
sedikit.
Yang bisa diambil dari Hadits di
atas antara lain :
1) Larangan
dari kencing di air yang tidak mengalir beserta keharamannya, dan yang lebih
diharamkan yaitu buang air besar didalamnya baik itu airnya sedikit maupun
banyak. Kecuali air yang sangat melimpah, karena airnya tidak ternajisi hanya
dikarenakan bertemu dengan barang yang bernajis. Akan tetapi air itu tetap bisa
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak selain untuk bersuci dari
hadats.
2) Larangan
untuk mandi pada air yang menggenang dengan cara menceburkan diri di dalamnya,
tidak terkecuali orang yang sedang junub walaupun tidak kencing di dalamnya
sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim. Dan yang utama adalah benar-benar
memperhatikannya dengan seksama.
3) Hal
diatas dibolehkan di air yang mengalir, adapun yang lebih utama adalah
menghindarinya.
4) Larangan
terhadap segala sesuatu (yang merugikan), dikarenakan suatu yang dilarang itu
menimbulkan bahaya dan kerugian.
Jika kita lihat realita sekarang ini, masyarakat dihadapkan
pada kerusakan lingkungan yang sangat parah, ini semua disebabkan karena
ekploitasi berlebihan terhadap alam yang bermuara pada satu hal, yaitu
kebutuhan manusia.
3.
Penelitian
Rasulullah tentang Syair
A.
Syair yang
diperbolehkan
Syair telah menjadi sebagian
dari tradisi orang-orang arab jahiliyah, sejarah menunjukkan bahwa Syair
dikenali di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersama para
sahabatnya adalah berbeza dengan al-ghina’ (nyanyian). Syair arab yang
dimaksudkan adalah merujuk kepada lantunan suara dengan nada biasa seperti
puisi, syair, atau sajak .
Al-Ghina’ (nyanyian)
pula merujuk kepada lantunan suara seperti syair tetapi dengan bentuk alunan
suara yang dinyaringkan dan diperindahkan dengan susunan seni suara tertentu
yang khusus. Dan telah terbentuk sebuah pasar syair yang dikenal
dengan nama
Pasar ‘Uqadz tempat para ahli syair dari segala penjuru qabilah melantunkan syair-syair
karya mereka, dan bagi syair-syair terbaik diberikan hadiah dan karyanya
ditempelkan pada dinding ka’bah.
Dalam Islam terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan
syair ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya dan adapula yang
mencelanya, berikut beberpa teks hadis yang menjelaskan kebolehan syair dan
bersyair:
حدثنا محمد بن
بشار: حدثنا ابن مهدي: حدثنا سفيان، عن عبد الملك: حدثنا أبو سلمة، عن أبي هريرة
رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم: (أصدق كلمة قالها
الشاعر كلمة لبيد:
ألا كل شيء ما خلا الله باطل، وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم)
ألا كل شيء ما خلا الله باطل، وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم)
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW
bersabda:”kalimat yang paling benar adalah yang dikatakan seorang penyair
adalah kalimat yang diucapkan oleh Labid: “Ingatlah. Segala sesuatu selain
Allah adalah bathil”. Dan Umayyah bin Abi As-Salt (karena syair-syairnya yang
berisi tentang iman) nyaris masuk Islam.
Selain riwayat di atas terdapat pula
riwayat lain sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzi:
Dari Anas Bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke Makkah pada
masa umrah dan Abdullah bin Rawah sedang berjalan di depan beliau sambil
berkata :“Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir,Hari ini kami akan
memukul kalian dirumah kalian,Dengan pukulan yang
menghilangkan kesedihan dari peraduannya,Dan menjauhkan seorang kekasih dari
kekasihnya.
Umar kemudian berkata kepadanya : ‘wahai Ibnu Rawah
dihadapan Rasulullah Saw dan didalam masjid al-haram kamu melantunkan syair?’
kemudian Nabi Saw berkata kepada Umar : “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu
lebih mempercepat dari siraman yang baik”
Dalam Riwayat lain Rasulullah Saw mengemukakan bahwasanya
terdapat kandungan hikmah dibalik bait-bait syair sebagaimana sabda Beliau Saw:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ حِكْمَةً مِنْ الشِّعْرِ
Artinya : “Dari Ubai
bin Ka’ab Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya terdapat hikmah
diantara (bait-bait) syair”.
B.
Syair yang
di Larang
Adapun hadis yang menerangkan akan
ketidak bolehan syair dan bersyair adalah :
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لأن يمتليء جوف رجل قيحاً يريه خير من أن يمتليء شعراً)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لأن يمتليء جوف رجل قيحاً يريه خير من أن يمتليء شعراً)
Artinya: “Dari Abu Hurairah
RA, ia berkata: rasulullah SAW bersabda: “niscaya rongga perut seseorang yang
penuh terisi nanah busukmasih lebih baik daripada penuh terisi bait-bait
syair.”
.
Ketika melihat hadis tentang pelarangan bersyair secara
zahir, maka akan ditemukan pelarangan untuk bersyair secara mutlak, sebab
Rasulullah Saw menyebutkan bahwa “perut seseorang dipenuhi oleh nanah (yang
dapat merusaknya) lebih baik dari pada dipenuhi oleh syair”, oleh karena itu
terdapat beberapa ulama yang melarang syair secara mutlak berdasarkan hadis
tersebut.
KORELASI DALAM PENDIDIKAN
a.
Korelasi
kepedulian sosial dan lingkungan dengan pendidikan
Setiap orang akan mempunyai
moralitas yang berbeda, semuanya tergantung awal bentukan dan juga pengaruh
disekelilingnya terutama keluarga. Lingkungan sekolah sangatlah luas. Mulai dari
hubungan sosial dalam diri sekolah itu sendiri, hubungan sosial dengan orang
tua siswa, hubungan sekolah dengan petugas kesehatan, hubungan sekolah dengan
pengawas pendidikan, hubungan sekolah dengan pejabat pemerintah, dan hubungan
sekolah dengan masyarakatsekitarnya, semuanya mempunyai pengaruh terhadap
proses belajar mengajar. Lingkungan sosial yang terdapat dalam diri sekolah itu
sendiri ketika proses belajar mengajar adalah hubungan antara kepala sekolah
dengan guru, hubungan guru dengan guru, hubungan guru dengan siswa, hubungan
siswa dengan siswa, hubungan pegawai dengan pegawai dan sebagainya. Hubungan
harmonis harus tercipta diantara para personil sekolah dalam rangka untuk
menciptakan iklim sekolah yang positif. Intinya, kepada bawahan dan siswa ingin
mencerdaskan, memberikan kasih sayang sebagaimana orang tua terhadap anaknya,
dan memberikan perlindungan terhadap gangguan yang bisa menghambat kelancaran
proses belajar mengajar. Sekolah yang unggul pasti dipimpin oleh kepemimpinan
yang berpotensi tinggi.
Pendidikan merupakan suatu hal yang lumrah, yang selalu berhubungan
erat dengan bidang apapun, termasuk dalam hal ini kesadaran terhadap lingkungan
hidup. Dapat dilihat bahwa tantangan lingkungan yang paling berat yang akan
dialami umat manusia di muka bumi ke depan terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim. Terjadinya pemanasan global yang terlampau ektrim akibat
pembakaran bahan baker fosil, terutama batubara, minyak bumi, dan gas alam yang
berlebihan, ditambah dengan kerusakan lingkungan yang menyebabkan pengurangan
penyerapan emisi karbon dari hutan. Dengan inilah pentingnya menumbuhkan
kesadaran pada diri akan lingkungan hidup, berupa pemanfaatan dan
pengembangannya[10]
Pendidikan dipercaya sebagai lembaga
yang mampu mempertahankan sebuah pemikiran ataupun konsep yang bertujuan untuk
kemaslahatan umum, salah satu contohnya adalah bahwa pendidikan dipercaya untuk
mempertahankan konsep tentang lingkungan hidup, terbukti dengan ditetapkannya
bidang studi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), meskipun bidang studi ini hanya
sebuah studi muatan lokal yang merupakan kebijakan pemerintah Jawa Barat,
tetapi diharapkan mampu menjadi pelopor untuk pendidikan Lingkungan Hidup.
Pendidikan
lingkungan hidup merupakan pendidikan dalam ranah afektif dan psikomotorik
yaitu tingkah laku, nilai, dan komitmen untuk melakukan pengetahuannya,
sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang berkelanjutan—sustainable.
Prinsip dari kehidupan berkelanjutan adalah setiap generasi umat manusia di
dunia mempunyai hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang
buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya (Saifullah, 2007: 9).
Menurut Dr. M Bahri Ghazali (1996:32); bahwa "kesadaran
lingkungan merupakan syarat mutlak bagi pengembangan lingkungan seara efektif.
Artinya tanpa adanya kesadaran tentang lingkungan hidup bagi manusia maka tentu
pengembangan lingkungan kearah yang bermanfaat tidak akan tercapai."
Syarat penunjang untuk pencapaian tujuan tersebut adalah dengan pendidikan.
Pendidikan akan mengajarkan kepada manusia bagaimana cara mengolah dan
memberdayakan alam[11]
b. Korelasi
syair dalam pendidikan
Pendidikan dalam pandangan islam mempunyai peran penting
dalam membina dan membentuk generasi penerus, pada zaman modern sekarang ini
hampir dikalangan masyarakat atau
pendidik menyukai syair, diantara
hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menenangkan hati serta mengenakan telinga. Dan syair yang terlarang adalah syair yang menyalahi aturan-aturan syariat, dan
syair yang tercela adalah syair-syair yang disusun untuk merendahkan martabat
manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Demikian pula syair yang
sangat menyibukkan melebihi kesibukan dalam membaca al-Qur’an dan beribadah
kepada Allah.
Adapun syair-syair yang
disusun dengan tidak menyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah
dengan tujuan untuk menyedarkan manusia atau membangkitkan semangat kaum
muslimin dan melemahkan semangat kaum kafir dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah,
maka syair tersebut adalah syair yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi
terpuji dalam Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli syair
dari kalangan sahabat seperti Hassan, Labid, dan selainnya yang dikenal sebagai
ahli syair pada masa mereka. Selain itu larangan mutlak untuk menyusun syair
dan melantunkannya hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada
umatnya atau pada pendidik khususnya pada anak usia dini
BAB IV
SIMPULAN
a.
Kepedulian sosial merupakan minat
atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain, karena manusia merupakan makhluk
sosial yang tak mungkin hidup sendiri, maka dibutuhkan interaksi sosial sebagai
upaya mempertahankan hidupnya.
b. Jika
kita lihat dari fitrahnya manusia yang merupakan makhluk sosial yang tak mampu
hidup sendiri, maka bukan hanya interaksi sosial yang dibutuhkan tetapi juga
interaksi dengan lingkungan hidup sebagai usaha untuk menjaga lingkungan agar
kualitas hidupa manusia menjadi lebih baik.
c. Syair
merupakan adat dan kebiasaan orang Arab Jahiliyah, syair adalah Suatu
kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama dan sajak yang
mengungkapkan tentang khayalan dan imajinasi yang indah. Dalam hal ini
Rasulullah membagi syair kedalam dua: yaitu syair yang diperbolehkan dan syair
yang dilarang. seperti halnya Imam Syafi’i dan Al-Ghazali berpendapat bahwa
untaian sya’ir sama saja dengan ucapan biasa. Yang baik darinya adalah baik,
sedangkan yang buruk adalah buruk pula. Demikian pula mendengarkan sya’ir, ada
yang mubah, yang dianjurkan, yang wajib,
yang makruh dan yang haram
d.
Peranan
kepedulian sosial dalam dunia pendidikan merupakan hal yang paling penting,
karena untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam prose belajar mengajar
haruslah menciptakan hubungan sosial yang harmonis, baik antar guru dengan
guru, guru dengan murid, ataupun murid dengan murid. Bukan hanya itu, proses
belajar mengajar yang kondusif pun membutuhkan interaksi dengan lingkungan
hidup, sehingga semestinya ada pembelajaran tentang pendidikan lingkungan hidup,
pendidikan lingkungan hidup akan masuk dalam aspek afektif dan psikomotorik
yaitu, tingkah laku, nilai dan komitmen untuk melakukan pengetahuannya. Adapun
tentang syair dalam konsep pendidikan merupakan sebuah metode untuk memasukan
nilai nilai edukasi dalam bait-baitnya. Sehingga dengan menggunakan syair
nilai-nilai edukasi nya relatif lebih mudah ditangkap, apalagi untuk anak usia
dini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul karim
Al Bassam,
Abdullah bin Abdurrahman. 2009. Penjelasan
Hukum dari Kitab Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ibnu
Daqiiqil ‘ied. Syarah Hadits Arba’in.
Bogor: At-Tibyan.
Asmoro, Toto, Menuju Muslim Kaffah, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2000).
[1][1]
H.A. Razak dan Rais Lathief. Terjemah
Hadis Shahih Muslim Juz 3. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980
[4][4]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Penjelasan
Hukum dari Kitab Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam, hlm 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar