Oleh :
Ihah Solihah
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
RASUL DAN KHALIFAH
Pembentukan
moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Pada ulama telah
berusaha menanamkan akhlak yang mulia, meresapkan fadhilah dalam jiwa manusia,
membiasakan mereka berpegang teguh kepada moral yang tinggi dan menghindari
hal-hal yang tercela. Ilmu di masa Rasul dan khalifah adalah suatu yang paling
berharga di dunia. Sedangkan ulama yang beramal adalah pewaris para Nabi, seseorang
tidak akan sanggup menjalankan mission (tugas-tugas) ilmiah kecuali bila ia
berhias dengan akhlak yang tinggi, jiwanya bersih dari berbagai celaan. Dengan
jalan ilmu dan amal serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik
mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
Pendidikan
Islam mengutamakan segi kerohanian dan moral, maka segi pendidikan mental,
jasmani, matematik, ilmu sosial dan jurusan-jurusan praktis tidak diabaikan
begitu saja, sehingga dengan demikian pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang
komplit dan pendidikan tersebut telah meninggalkan bekas yang tidak dapat
dibantah dibidang keimanan, aqidah dan pencapaian ilmu karena zat ilmiah itu
sendiri. Pada masa Rasul telah memiliki perkembangan diberbagai bidang,
misalnya ilmiah, kesusasteraan dan kebendaan, tetapi belum sampai ke tingkah
rohaniah dan akhlak yang tinggi seperti yang pernah dicapai oleh kaum muslimin
di masa kejayaannya.
A. Lembaga
Pendidikan Pada Masa Rasul dan Khalifah
Adapun
alasan yang muncul bagi penentuan ilmu, yang menuntutnya dijadikan tugas agama,
satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan ucapan Rasul yang
menekankan kepentingan belajar bersama fakta, bahwa simbol sentral dari wahyu
Islam adalah sebuah kitab, menjadikan belajar tidak dapat dipisahkan dari agama
yang menjadi tempat utama dimana pengajaran dilaksanakan dalam Islam adalah
masjid, dan sejak dekade pertama sejarah Islam, lembaga pengajaran sebagian
besar tetap tak dapat dipisahkan dari masjid dan biasanya dibiayai dengan
shadaqah agama.
Masjid mulai
berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan khalifah kedua, yaitu “Umar” yang
mengangkat “penutur” sebagai qashsh untuk masjid di kota-kota, umpama Kufa,
Bashrah, dan Damsyik guna membacakan Qur’an dan hadits (sunnah Nabi), dari
pengajaran awal dalam bahasa dan agama ini lahirlah sekolah dasar rakyat
(Maktab) dan juga pusat pengajaran lanjutan, yang berkembang menjadi
universitas-universitas pertama abad pertengahan, dan yang akan menjadi model
bagi universitas permulaan di Eropa pada abad 11 dan ke-12.
Tujuan
maktab yang masih bertahan di banyak bagian dunia Islam, yaitu memperkenalkan
remaja dengan ilmu membaca, menulis, dan lebih khusus dengan prinsip-prinsip
agama. Jadi maktab berfungsi disamping sebagai pusat pendidikan agama dan
sastra bagi masyarakat umum, juga sebagai sesuatu yang lebih menarik bagi studi
kita ini tingkat persiapan bagi lembaga pengajaran lanjutan, dimana sains
diajarkan dan dikembangkan.
Pada masa
ini pula, muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan awal, di antara yang
paling terkenal adalah Rabi’ah al-Razi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid
Nabawi, adapun murid-muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab “al-Muwatta”
dan pendiri mazhab Maliki. Sedangkan ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id bin
al-Musayyab, Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan lain-lain. Di antara
yang belajar pada Ibnu Abbas adalah Mujahid (w. 105 H), Sa’id bin Jubair (w. 94
H), Ikrimah Mawla ibn Abbas, Tawus al-Yammani, ‘Ata bin Abi Rabah, semuanya
dari Mekah. Di antara tabi’in itu juga adalah al-Hasan al-Basri yang belajar
pada Rabi’ah al-Ra’y di Madinah, kemudian kembali ke Bashrah yang dikunjungi
oleh penuntut-penuntut ilmu dari seluruh pelosok negeri Islam.
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Ketika agama
Islam diturunkan Allah, sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis
baca. Kemudian tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang
kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Ayat
al-Qur’an yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan
memberikan gambaran bahwa kepandaian membaca dan menulis merupakan sarana utama
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. Kepandaian tulis
baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan
penting, sejak nama Nabi Muhammad saw digunakan sebagai media komunikasi dakwah
kepada bangsa-bangsa di luar bangsa Arab, dan dalam menuliskan berbagai macam
perjanjian. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa selanjutnya tulis baca
digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu pengetahuan. Karena
tulis baca semakin terasa perlu, maka maktab berbagai tempat belajar, menulis
dan membaca, terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di
awal perkembangan Islam maktab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang
bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca,
sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada
masanya.
Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Sekolah
Amalan
Rasulullah saw diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan juga kaum
muslimin kemudian semakin berkembang negara Islam, semakin banyak pula masjid
didirikan untuk memainkan peranannya yang penting dalam masyarakat. Pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Parsi, Syam, Mesir dan seluruh
semenanjung tanah Arab ditaklukkan, masjid-masjid didirikan di semua kampung
sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan Islam.
B. Pusat
Pendidikan Islam Pada Masa Rasul dan Khalifah
Bahwa
meluasnya daerah kekuasaan Islam dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran
Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut sebagai anggota
pasukan maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar
dan mendidik, maka di luar Madinah, dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai,
berdirilah pusat pendidikan dibawah pengurusan para sahabat yang kemudian
dikembangkan oleh para tabi’in.
Mahmud Yunus
dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” menerangkan bahwa pusat pendidikan tersebar
di kota-kota besar seperti:
1. Kota Makkah
dan Madinah (Hijaz)
2. Kota Bashrah
dan Kuffah (Irak)
3. Kota Damsyik
dan Palestina (Syam)
4. Kota Fistat
(Mesir).
Pada masa
itu pula timbullah madrasah, madrasah yang masih merupakan sekedar tempat
memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan yang
lain.
C. Madrasah-Madrasah
yang Terkenal dan Para Tokohnya
1. Madrasah
Makkah
Guru pertama
yang mengajar di Makkah adalah Mu’ad bin Jabal, pada masa khalifah Abdul Malik
bin Marwan (65-86 H). Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah, lalu dia mengajar
tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Abdullah bin Abbas adalah pembangun madrasah
Makkah. Di antara murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah
Mekkah adalah Mujahid bin Jabar (seorang ahli tafsir al-Qur’an yang
meriwayatkannya dari Ibn Abbas), Atak bin Abu Rabah (ahli dalam fiqh), dan
Tawus bin Kaisan (seorang fuqaha) dan mufti di Makkah, dan seterusnya
diwariskan kepada muridnya juga.
2. Madrasah
Madinah
Di sinilah
madrasah termasyhur, karena khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman serta banyak
pula sahabat Nabi yang mengajar. Seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli qiraat
dan fiqih, beliau mendapat tugas memimpin penulisan kembali al-Qur’an, baik di
zaman Abu Bakar ataupun Usman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah
ahli hadits, beliau juga sebagai pelopor madzhab Ahl al-Hadits yang berkembang.
Adapun
ulama-ulama sahabat yang gugur kemudian digantikan muridnya adalah :
a. Sa’ad bin
Musyayab
b. Urwah bin
al-Zubair bin al-Awwan.
3. Madrasah
Bashrah
Ulama
sahabat yang terkenal di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari (sebagai ahli
fiqih, hadits dan ilmu al-Qur’an). Sedangkan Anas bin Malik (terkenal dalam
ilmu Hadits), guru yang terkenal adalah Hasan al-Basari dan Ibn Sirin. Hasan
al-Basri disamping seorang ahli fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal
sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis
mazhab ahl as-sunnah dalam lapangan ilmu kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah
seorang ahli hadits dan fiqh yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas
bin Malik.
4. Madrasah
Kufah
Di Kufah ada
Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah
politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru
agama. Ibn Mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi guru agama di
Kufah. Beliau adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan
hadits Nabi saw, di antara murid Ibn Mas’ud yang terkenal adalah Alqamah,
al-Aswad, Masruq, al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini
kemudian melahirkan Abu Hanifah salah imam mazhab yang terkenal dengan
penggunaan ra’yu dalam berijtihad.
5. Madrasah
Fistat (Mesir)
Tokohnya
Abdullah bin Amr bin al-As. Ia adalah seorang ahli hadits, ia tidak hanya
menghafal hadits yang didengarnya dari Nabi Muhammad saw saja, melainkan juga
menuliskannya dalam bentuk catatan, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan
hadits kepada para muridnya. Guru termasyhur setelahnya adalah Yazid bin Abu
Habib al-Huby dan Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid
yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan al-Lais bin Sa’id.
D. Cara
Pengajaran / Penyampaian Ilmunya
Ada empat
orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama
kepada muridnya, yaitu :
1) Abdullah bin
Umar di Madinah
2) Abdullah bin
Mas’ud di Kufah
3) Abdullah bin
Abbas di Makkah
4) Abdullah bin
Amr bin al-Ash di Mesir.
Sahabat-sahabat
itu tidak menghafal semua perkataan Nabi dan tidak melihat semua perbuatannya.
Dia hanya menghafal setengahnya. Maka oleh karena itu, kadang-kadang hadits
yang diajarkan oleh ulama di Madinah belum tentu sama dengan hadits yang
diajarkan ulama di Makkah. Oleh sebab itu, para pelajar harus belajar di luar
negerinya untuk melanjutkan studi. Misalnya, pelajar Mesir melawat ke Madinah,
pelajar Madinah melawat ke Kufah dan lain-lain seperti hadits Nabi :
طَلَبُ
الْعِلْمِ وَلَوْ بِالسِّنّ
“Carilah
ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Yang
dimaksud di sini adalah pengajaran ilmu al-Qur’an dan sunnahnya. Pada awalnya
saat permulaan turunnya al-Qur’an Nabi mengajarkan Islam secara
sembunyi-sembunyi. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an dan memahami kandungan
setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bertadarus.
Pengajaran
al-Qur’an tersebut berlangsung terus sampai Nabi Muhammad saw bersama pada
sahabatnya hijrah ke Madinah. Sejalan dengan itu, berpindahlah pusat pengajaran
al-Qur’an ke Madinah. Penghafalan dan penulisan al-Qur’an berjalan terus sampai
masa akhir turunnya. Dengan demikian al-Qur’an menjadi bagian dari kehidupan
mereka. Selanjutnya untuk memantapkan al-Qur’an dalam hafalannya, Nabi Muhammad
saw sering mengadakan ulangan terhadap hafalan-hafalan mereka.
Al-Qur’an
adalah dasar pengajaran, fondasi semua kebiasaan yang akan dimiliki kelak.
Sebabnya ialah segala yang diajarkan pada masa muda seseorang, berakar lebih
dalam dari pada yang lainnya.
Sedangkan
pada masa Khulafaur Rasyidin, cara pengajaran dan penyampaian ilmunya masih
sama pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu meneruskan jejak Nabi.
KESIMPULAN
Kesimpulannya
bahwa sejarah pendidikan Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin sangat
menekankan pada pemahaman dan penghafalan al-Qur’an. Pada masa ini keilmuan
yang berkembang belum terlalu meluas seperti pada masa setelahnya. Adapun cara
pengajarannya sangat sederhana yaitu dengan bertatapan langsung antara pendidik
dan peserta didiknya, sehingga pelajaran lebih cepat dipahami.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Abrasjy, Muhammad Athijah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Fadjar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 1991.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
Nasr, Sayyed Hossein, Sains dan Peradaban di dalam Islam,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar