S.R.Noviyanti,Semester
IV Sabtu, 13 Juli 2013
K.H. AHMAD DAHLAN (1868-1923M)
TAWARAN BARU TENTANG METODE PEMBELAJARAN
I.
PENDAHULUAN
K.H.
Ahmad Dahlan adalah seorang pahlawan nasional yang banyak memberikan
konstribusi pada dunia pendidikan Islam di Indonesia ini. Ia seorang da’i
sekaligus organisatoris Islam yang mampu mewujudkan suatu sistem lembaga Islam yang
terpadu yang hasilnya kini dikembangkan terus oleh para generasinya.
Nama
Ahmad Dahlan bukanlah nama yang asing dalam dunia pendidikan, ia lebih banyak
dikenal orang sebagai pendakwah atau pembaharu sosial budaya di Indonesia.
Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ia telah memberikan nilai-nilai
yang berharga pada pendidikan Islam agar dapat selangkah lebih maju dengan
orang-orang Eropa, contohnya dengan lahirnya lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang sampai saat ini tetap exist dan qualified.
II. RIWAYAT
HIDUP K.H. AHMAD DAHLAN
K.H.
Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1868 dalam sebuah keluarga yang shaleh dan
tinggal dalam atmosfer religius yang kental. Sumber lain menyebutkan bahwa
Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad
Darwis, anak seorang kyai Haji Abu Bakar Bin Kyai Sulaiman, seorang Khatib di
Masjid Sultan kota tersebut, dan ibunya adalah anak Haji Ibrahim, seorang
penghulu.
Setelah
ia menyelesaikan pendidikannya di pesantren Yogyakarta, ia melanjutkan studinya
ke Mekkah. Disinilah ia menemukan tulisan-tulisan pembaharu muslim, yaitu:
Al-Afghani, dan Syaikh Muhammad Abduh di Mesir.
Ketika
ia berada di Mekkah, ia membuat suatu terobosan baru dengan membuat tanda shaf
dalam masjid agung dengan memakai kapur, tanda yang ia berikan itu bertujuan
untuk memberikan arah kiblat yang benar dalam masjid. Namun hal itu mendapat
perlawanan dari petugas masjid setempat, dan dengan cepat membersihkan lantai
masjid dan tanda shaf yang dituliskan oleh Dahlan.
Sekembalinya
dari mekkah, ia memberikan pengajaran di beberapa sekolah (pesantren). Ia
mengajar ke beberapa kota sambil menawarkan penjualan batiknya kepada setiap
orang. Hal ini dilakukan guna membantu kesulitan orang tuanya.
Adapun
sebagai Ulama Islam, ia merupakan seseorang yang memiliki otak brilian dan jiwa
toleran yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pribadinya yang memberikan
perhatian utamanya pada kehidupan religius, ketidakefesienan pendidikan agama,
aktifitas misionaris kristen dan sikap anti agama dari kaum cerdik pandai. Dari
sinilah ia disebut sebagai pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi kepada
sikap moderat dan toleransi agama.
Pada
tanggal 1 Desember 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta. Di sekolahan ini pelajaran umum diberikan oleh
beberapa pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Inilah sekolah Islam
swasta pertama yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Dalam
hubungan sosial, ia sangat aktif dalam segala usaha yang bertujuan membangun
pendidikan bagi masyarakat. Ia pernah menjadi anggota Budi Utomo cabang
Yogyakarta pada tahun 1908 dan menjadi pimpinannya. Sebagian besar dari anggota
kelompok ini adalah dari kelompok priyayi dan hampir tidak ada ulama yang masuk
menjadi anggotanya.
Dalam
mewujudkan dunia pendidikan Islam ini, ia lakukan bersamaan dengan kegiatan
yang dilakukn oleh H.O.S. Cokroaminoto.Kalau Cokroaminoto lebih banyak
menekankan tentang teori-teori politik dan sosiologi, maka Ahmad Dahlan lebih
banyak memberikan penekanan pada ajaran-ajaran keagamaan Islam dilingkungan
masyarakat.
Dari
semua ini nampak, walau hanya sebagian saja, sosok kepribadian Ahmad Dahlan
yang begitu dinamis, tolerir, dan mempunyai watak yang progresif dan
konstruktif. Namun sayangnya tidak sempat menuliskan ide-ide dan harapan-harapan
kepada kita dalam bentuk tulisan. Mugkin dikarenakan kesibukan dan keseriusan
beliau di dalam mewujudkan aspek pendidikan dalam tataran praktis dan
aplikatif, bukan teoritis-teoritis saja.
Tanpa
disadari waktu olehnya, ia pun kembali kepada Tuhan, dengan ikhlas. Alau begitu
jasa-jasa beliau masih dikenang sampai saat ini, khususnya dalam dunia
pendidikan, dengan lahirnya lembaga pendidikan Muhammadiyah.
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN
DALAM PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
I.
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN DAN PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
Secara
tradisional, seseorang akan dipengaruhi faktor geografis yang menunjukkan bahwa latar belakang sosial berpengaruh
terhadap proses pendewasaannya. Kampung Kauman sebagai termpat kelahiran Darwis
terkenal sebagai daerah lingkungan santri. Dahlan dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat Kauman, dan oleh karena itu ia sangat dipengaruhi oleh tradisi
sosial daerah tersebut. Pengaruh itu nampak dari kebiasaan-kebiasaannya yang
ulet dalam memperdalam pengetahuan keagamaan. Darwis sejak kecil tidak dididik
pada lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia
Belanda, karena barang siapa yang memasukkan anaknya ke sekolah tersebut akan
dianggap sebagai orang kafir, karena telah memasuki pola kehidupan kafir
Belanda. Sebagai alternatif, ia dididik melalui cara pengajian, kemudian oleh
ayahnya ia dikirim untuk belajar pada beberapa guru mengaji yang lain. Pada
masa itu (abad 19) menurut Steer Brink ada 5 kategori guru: guru ngaji qur’an,
guru kitab, guru tarekat, guru ilmu ghaib, dan guru yang tidak menetap di suatu
tempat.
Adapun kitab
yang dipelajari oleh Darwis adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqh,
ilmu nawu, ilmu falaq, qira’ah dan ilmu hadits, sehingga ia dianggap menguasai
dasar-dasar pemikiran keilmuan yang sesuai dengan sistem pengetahuan. Pada
tahun 1890 ia dikirim ayahnya ke Mekkah untuk memperdalam pengetahuannya
tentang Islam.
Ahmad Dahlan
diakui sebagai salah seorang tokoh pembaharuan dan pergerakan Islam di
indonesia, antara lain karena ia berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam
dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern, dan banyaknya pengalaman
keislaman masyarakat yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan
al-Hadits.
Sebelum
mendirikan Muhammadiyah, beliau telah berjuang dalam perkumpulan Jam’iyyah
al-Khair, Budi Utomo dan Syarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang
mula-mula mengajar agama Islam di sekoah negeri, seperti sekolah guru
(Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan Mosvia di Magelang.
Puncak dari
kegiatan dan perjuangan beliau ialah dengan mendirikan Muhammadiyah. Ketika
Muhammadiyah didirikan untuk pertama kalinya, sesungguhnya di Yogyakarta telah
berdiri perkumpulan-perkumpulan atau pengajian yang bermacam-macam, seperti:
Ikhwanul Muslimin, Priyo Utomo, Taqwimuddin, Syarikat Muhtadi, Walfajri, dan
sebagainya.
Atas ide yang
diberikan K.H.Ahmad Dahlan, maka akhirnya perkumpulan-perkumpulan diatas banyak
yang meleburkan dirinya ke dalam Muhammadiyyah sebagai ranting-rantingnya,
demikian juga perkumpulan-perkumpulan agama di luar Jawa tidak ketinggalan
untuk ikut bergabung.
Adapun tujuan
beliau mendirikan organisasi ini adalah untuk membebaskan umat Islam dari
kebekuan dalam segala bidang kehidupannya, dan praktek-praktek agama yang
menyimpang dari kemurnian ajaran Islam.
II.
GAGASAN PEMBAHARUAN DAN PERJUANGAN DAHLAN
Pada tahun 1890 ayah Dahlan meninggal dunia, kemudian oleh Sultan
Hamengkubuwono VII Dahlan diangkat sebagai pengganti kedudukan ayahnya menjadi
khatib di masjid agung Kauman Yogyakarta. Setelah ia duduk sebagai abdi dalem,
oleh para teman seprofesi dan para kyai Dahlan diberi gelar Ketib Amin, artinya
ketib yang dapat dipercaya.
Gelar tersebut mencerminkan suatu proses pendidikan dirinya dengan
dorongan apa yang disebutkan David C.MC.Clelland. Need for achievement, yaitu
cara berpikir tertentu yang kurang lebih sangat jarang dijumpai, akan tetapi apabila
ada pada diri seseorang, cenderung menyebabkan orang itu bertingkah laku giat.
Hal ini berdampak pada penyebaran gagasan-gagasannya, meskipun gagasan tersebut
tidak cocok dengan pemikiran keagamaan yang hidup di daerah Yogyakarta.
Gagasan Dahlan yang berbeda dengan pemikiran masyarakat zamannya
mempunyai landasan pemikiran yang prinsipil dipandang dari sudut filsafat ilmu.
III.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H.AHMAD DAHLAN
K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang tidak banyak meninggalkan
tulisan. Beliau lebih menampilkan sosoknya sebagai manusia amal atau praktisi
daripada filosof yang banyak melahirkan pemikiran dan gagasan-gagasan tetapi
sedikit amal.Sekalipun demikian tidak berarti bahwa K.H.Ahmad Dahlan tidak
memiliki gagasan. Amal usaha Muhammadiyyah merupakan refleksi dan manifestasi
pemikiran beliau dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Istilah pendidikan
disini dipergunakan dalam konteks yang luas tidak hanya terbatas pada sekolah
formal tetapi mencakup semua usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk
mentransformasikan ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari generasi
terdahulu kepada generasi muda. Dalam konteks ini termasuk dalam pengertian
pendidikan adalah kegiatan pengajian, tablig, dan sejenisnya.
1. Tujuan Pendidikan
K.H. Ahmad
Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari
pernyataannya yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan adalah “Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmu
njamboet gawe kanggo moehammadijah”.
Dalam
pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penting yaitu Kijahi,
kemadjoean, dan njamboet gawe kanggo moehammadijah.
Istilah Kiai
merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa,
seorang kiai adalah figur yang sholeh, berakhlak mulia, dan menguasai ilmu
agama secara mendalam.
Istilah
Kemajuan secara khusus menunjuk kepada kemodernan sebagai lawan dari kekolotan
dan konservatisme. Pada masa K.H.Ahmad Dahlan, kemajuan sering diidentikkan
dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas dan kemajuan secara
material. Sedangkan kata njamboet gawe kanggo moehammaddijah merupakan
manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran
dan tenaga untuk kemajuan umat Islam pada khususnya, dan kemajuan masyarakat
pada umumnya.
Berdasarkan
pemahaman tersebut, tujuan pendidikan menurut K.H Ahmad Dahlan adalah untuk
membentuk manusia yang :
a.
Alim dalam ilmu agama.
b.
Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum.
c.
Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyyah dalam menyantuni
nilai-nilai keutamaan dalam masyarakat.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari
tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendididkan
pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang sholeh dan mendalami
ilmu agama. Sebaliknya pendidikan model Belanda merupakan pendidikan sekuler
yang di dalamnya tdak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini
menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua
kutub intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum, dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum
tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut, beliau berpendapat bahwa tujuan
pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh: menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat. Baginya
kedua hal tersebut merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
2. Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut, K.H.Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.
Pendidikan moral,akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
b.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh, yang berkeseimbangan antara perkembangan mental
dan jasmani, antara keyakinan dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran
serta antara dunia dan akhirat.
c.
Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian, K.H.Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum
dan materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut
K.H.Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya
dalam pengajian-pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyyah. K.R.H Hajid,
salah seorang muridnya mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku
berjudul “Ajaran K.H.A. Dahlan” dan 17 kelompok ayat-ayat al-Qur’an yang
merupakan catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama.
Sejalan dengan ide pembaharuannya, K.H.Ahmad Dahlan adalah seorang
pendidik yang sangat menghargai dan menekankan pendidikan akal.Dia berpendapat
bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Tetapi seringkali akal tidak
mendapatkan perhatian yang semestinya.Karena itulah maka pendidikan harus
memberikan siraman dan bimbingan yang sedemikian rupa sehingga akal manusia
dapat berkembang dengan baik. Untuk mengembangkan pendidikan akal, beliau
menganjurkan diberikannya pelajaran ilmu mantiq di lembaga-lembaga pendidikan.
3. Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama, K.H Ahmad Dahlan tidak
menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual.
Disamping menggunakan penafsiran yang kontekstual, beliau
berpendapat bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami
secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Gagasan
Ahmad Dahlan tentang “Pembumian” ajaran al-Qur’an tersebut antara lain
tercermin dalam pengajaran surat Al-Ma’un yang dalam perkembangannya melahirkan
Majelis Pembinaan Kesejahteraan Umat (MPKU).
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, K.H.Ahmad Dahlan melakukan dua
langkah strategis yaitu dengan mengajarkan pelajaran agama ekstrakurikuler di
sekolah gubernemen.
Sistem penyelenggaraan dan kurikulum sekolah Muhammadiyyah yang
didirikannya memiliki dua perbedaan mendasar dengan sekolah dan lembaga
pendidikan pada umumnya.
Dilihat dari segi kurikulum, sekolah tersebut mengajarkan tidak
hanya ilmu umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini merupakan terobosan
baru mengingat pada saat itu lembaga pendidikan umum (sekolah) hanya
mengajarkan pelajaran umum dan sebaliknya, lembaga pendidikan agama (pesantren)
hanya mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikulum tersebut,Ahmad Dahlan
berusaha membentuk individu yang “utuh” dengan memberikan pelajaran agama dan
umum sekaligus.
Dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah tersebut meniru
sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar beliau menggunakan kapur,
papan tulis, meja, kursi, dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah
Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, beliau berpendapat bahwa untuk
memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam
sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti
mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan
wilayah muamalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar