Minggu, 21 Juli 2013

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IMAM ALGHAZALI

Oleh Majdi Al Husainy

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan upaya manusia yang diarahkan kepada siswa, peserta didik atau manusia lainnya, dengan harapan agar dengan pendidikan ini mereka kelak menjadi manusia yang shaleh yang berbuat sebagaimana yang seharusnya diperbuat dan menjauhi dengan apa yang tidak patut dilakukannya.

Dengan pendidikan, maka manusia dapat menjadi makhluk Allah SWT yang istimewa. Walaupun saat dilahirkan dari kandungan ibunya belum tahu apa-apa, namun ia dibekali potensi berupa pendengaran, penglihatan serta akal, dan hati. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 78: “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sedikit apapun, dan Dia memberi kamu, pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.

Dengan potensi yang diberikan oleh Allah SWT itu manusia diberikan kemampuan untuk melakukan kegiatan pendidikan, tentunya pendidikan itu harus berdasar atas kehendak yang penuh dengan tanggung jawab, karena hal ini menyangkut masa depan anak didik, masa depan masyarakat, masa depan suatu bangsa.

Islam adalah agama yang begitu memperhatikan tentang penggunaan akal dan pendalaman dunia pendidikan. Islam mengajak kepada setiap individu untuk merasakan betapa beratnya tanggung jawab dalam pendidikan akal seorang anak manusia. Mengajak setiap manusia untuk turut serta berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Dari dasar inilah maka kita diajak untuk sadar, bahwa pendidikan itu menempati posisi yang sangat dominan dalam kegiatan dan aktivitas manusia. Sebab pendidikan merupakan bagian yang tak akan terpisahkan dari kehidupan manusia.

Pendidikan dalam prinsip Islam adalah pendidikan yang dilaksanakan dalam kerangka meningkatkan kepribadian siswa, dengan jalan membina potensi-potensi yang ada padanya, baik itu potensi mental (rohani) maupun potensi fisik (jasmani).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Noor Syam dkk., bahwa pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budhi nurani) dan jasmani (panca indra serta keterampilan).

Apabila pendidikan itu berjalan dengan baik dan lancar serta sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, maka hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya program dan keseriusan, maka hasilnyapun akan kita rasakan. Melalui pendidikan para pendidik Islam menghasilkan pribadi-pribadi yang nanti menjadi pendidik pula, menyebarkan Islam kepada generasi yang akan datang.

Pendidikan yang baik merupakan modal utama dalam kemajuan peradaban manusia, terutama dalam hal pengembangan nilai-nilai yang normatif, sehingga pendidikan tidak hanya menciptakan manusia-manusia yang pintar akan tetapi juga menciptakan manusia yang tahu akan tanggungjawabnya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.

Pendidikan harus tetap berjalan, berkembang dan maju sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap tak terbawa arus oleh gejolak-gejolak zaman, sebab perkembangan zaman manusia tidak selamanya membawa kebaikan, namun juga terkadang membawa kepada kejelekan. Untuk itulah maka diperlukan pengontrol dan pengantisipasi, yaitu yang disebut dengan pendidikan.
Pendalaman tentang pendidikan Islam yang dipelajari oleh para siswa, memerlukan adanya pemahaman dan pengamatan yang mendalam pula, dengan demikian pendidikan tidak hanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek kognitif saja, melainkan juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek afektif dan psikomotor. Walaupun untuk hal ini memang diperlukan usaha-usaha yang besar dan serius. Ilmu memang tidak mudah didapat tapi bila sudah dapat melaksanakannya, banyak manfaat yang kita peroleh.

Dalam pengembangan tentang pendidikan agama Islam yang kita harapkan bersama, yaitu pendidikan yang mampu memberi nilai yang baik dan mulia, maka memang perlu diperhatikan segala hal yang bersangkut paut dengan apa yang ada dalam al-Qur’an. Dalam hal ini pendidikan disempurnakan dan dipenuhi dengan hal-hal yang sifatnya nyata dalam bentuk pengalaman.

Dalam melaksanakannya, pendidikan merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa komponen, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling komplementer atau saling pengaruh mempengaruhi kepada tujuan.

Dalam kaitan antara pendidikan agama Islam dengan hal-hal yang menyangkut penerapan moral atau akhlak, dalam hal ini yang terangkum dalam al-Qur’an, maka kita akan menemukan permasalahan-perma-salahan itu dalam permasalahan atau pembahasan  yang selalu digeluti oleh Ulama besar Hujatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dialah tokoh umat Islam yang tidak sedikit waktunya dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan dan penelaahan-penelaahan yang masih ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang ada di dalam al-Qur’an terutama dalam bidang pendidikan.

Wawasan keilmuannya yang se-demikian luas dan mendalam serta sikap hidupnya sebagai hamba Allah yang konsisten, terbaca dalam karya-karyanya yang jumlahnya sekitar seratus buah, serta transfaran pula dalam pola perilakunya sehari-hari.

Mengingat betapa pentingnya mengetahui pemikiran Imam al-Ghazali untuk pengembangan pendidikan Islam, maka secara spesifik perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dasar pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali?
2. Bagaimana al-Ghazali meletakkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam
penentuan tujuan pendidikan Islam itu?
3. Bagaimana pandangan al-Ghazali tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam
penentuan metode dan materi pendidikan Islam itu?
4. Kualifikasi apa yang menjadi prioritas bagi al-Ghazali dalam pendidikan Islam?

LANGKAH-LANGKAH DAN METODE PENELITIAN
Setelah diketahuinya permasalahan yang ada, yakni berkenaan dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali, maka langkah selanjutnya adalah menyusun atau merumuskan permasalahan-permasalahan tersebut secara sistematis sesuai dengan prosedur yang berlaku.
1. Menginventarisasi Data.
Upaya untuk mengetahui secara mendalam mengenai pembahasan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali diperlukan berbagai sumber data, baik data yang bersifat kewahyuan seperti al-Qur’an dan Sunnah, ataupun data yang berhasil dihimpun dari berbagai buku-buku, sesuai dengan penelitian ini.

2. Teknik Penelitian
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu studi kepustakaan (books survey), yakni berupa penelitian yang menitikberatkan pada penelaahan buku-buku karangan para ahli yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Dilihat dari teknik analisisnya, penulis menggunakan teknik analisis data sebagai berikut:

a. Teknik Induktif, yaitu penelitian dengan menggunakan premise dari fakta yang bersifat khusus menuju ke arah yang bersifat umum sebagai kesimpulannya.
b. Teknik Dedutif, yaitu penelitian dengan menggunakan premise dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai kesimpulannya.
c. Teknik Konvergentif, yaitu suatu teknik penelitian dengan memadukan kedua unsur teknik yang bersifat kualitatif di atas.

3. Pengolahan atau Analisis Data
Hal ini berarti membuat suatu formulasi dari data yang telah di dapat secara variabel, sehingga menghasilkan suatu rumusan mengenai al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali secara kualitatif.

4. Membuat Kesimpulan
Dari sejumlah uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, kemudian ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang berkenaan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yakni al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali. Dengan terselesaikannya langkah ini diharapkan akan terjadinya suatu deskripsi tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan Islam, sebagai sebuah sumbangan pemikiran dari Imam al-Ghazali.

PEMBAHASAN

TEMUAN DALAM PENELITIAN
1. Konsep dan Tujuan Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
Jargon bahwa al-Qur’an sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan dan al-Sunnah sebagai sumber inspirasi bagi kebangkitan umat, yang intinya menempatkan bahwa al- Qur’an sebagai petunjuk global dan al-Sunnah sebagai petunjuk praktis bagi kehidupan umat Islam, maka nilai-nilai universalitasnya masih memungkinkan untuk dapat dipakai hingga akhir zaman. Oleh karena itu, kedua sumber ajaran Islam tersebut dapat dijadikan dasar bagi pendidikan Islam.

Al-Qur’an sebagai sumber nilai dari pedoman bagi ummat Islam memiliki system kehidupan yang sempurna, karenanya dalam persoalan pendidikan yang merupakan aspek pokok dalam kehidupan hampir dua pertiga dibicarakan dalam al-Qur’an.

Di dalam al-Qur’an didapatkan pembahasan mengenai pendidikan bagi manusia. Kata “Rabbul Alamin” dalam ayat “Alhamdu lillahi robbil Alamin” memiliki arti “murobbil Alamin” (pendidikan alam semesta). Term “Tarbiyah” yang sering dipakai dalam kalangan pendidikan Islam merupakan bantuan dari kata kerja “rabba – yurobbi – tarbiyatan”; yang memiliki arti pendidikan dan pemeliharaan. Hal ini digambarkan di dalam surat al-Isra: 24, yang artinya: “Ya Tuhanku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku semasa kecil”.

Karena al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Adalah mustahil jika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an sebagai rujukannya.

Dengan demikian dapat diperoleh suatu kejelasan bahwa pendidikan menurut al- Qur’an adalah merupakan konsekuensi logis dari usaha pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik dilihat dari kebutuhan fisiologis maupun psikologis yang memungkinkan tercapainya perbaikan dan kualitas hidup manusia berdasarkan ajaran Islam melalui upaya pendidikan yang bersumber dari ajarannya yang asli, yaitu al-Qur’an. Lebih dari itu al- Qur’an juga merupakan tuntunan dan pedoman hidup manusia dalam berbagai bidang dan aspek hubungan, termasuk di dalamnya hubungan yang berfungsi untuk membudidayakan sumber daya manusia, yaitu melalui pendidikan.

Adapun term yang selalu dipakai untuk istilah pendidikan ini, al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “Tarbiyah” (memelihara dan mendidik), meskipun oleh beberapa ahli pendidikan penggunaan istilah ini kurang tepat. Namun yang pasti, al-Qur’an dengan segenap konsep yang paripurna dan komprehensif telah memberikan dasar-dasar pokok bagi acuan dan usaha pendidikan
yang mesti dilakukan umat manusia menuju kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.

Hal ini berarti memastikan manusia agar menjalani proses kehidupannya dengan usaha pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan hidupnya, yang memiliki falsafah dasar yang kuat serta tidak berubah-ubah, yakni landasan al-Qur’an sebagai acuan nilainya.

Pembinaan manusia, atau—dengan kata lain—pendidikan al-Qur’an terhadap, anak didiknya dilakukan secara bersamaan. Satu contoh sederhana adalah sikap al-Qur’an ketika menggambarkan puncak kesucian jiwa yang dialami oleh seorang Nabi pada saat ia menerima wahyu. Di sana al-Qur’an mengaitkan pelaku yang mengalami puncak kesucian tersebut dengan suatu situasi yang bersifat material.

Dengan demikian, konsep pendidikan yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan al- Sunnah itu adalah pendidikan sepanjang hayat. Misalnya sifat pendidikan al-Qur’an adalah “rabbani”, yakni yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT, yang oleh al-Qur’an dijelaskan cirinya antara lain mengajarkan Kitab Allah, baik yang tertulis (al- Qur’an), maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta mempelajarinya secara terus menerus.

Adapun tujuan Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dapat dijelaskan bahwa setiap usaha pendidikan tentunya akan memiliki prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan itu berlangsung. Dasar pendidikannya sudah barang tentu harus sesuai dengan model, proses dan orientasi pendidikan yang direncanakan.

Demikian pula halnya dengan pendidikan dalam Islam, dengan melihat namanya saja (pendidikan Islam) sudah nampak jelas bahwa pendidikan itu didasarkan pada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an sebagai sumber pokoknya, dan al-Sunnah dan ditambah beberapa pemikiran para ahli di bidangnya.

Dalam hubungan ini, Abdurrahman Shaleh Abdullah menjelaskan bahwa jika al- Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asasasas dasarnya harus dapat memberikan petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan.

Kutipan beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan dua sabda Nabi di atas, yang dijadikan rujukan dalam merumuskan suatu tujuan pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu, antara lain:
1. Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama makhluk Allah dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini.
2. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3. Mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut.
4. Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.
5. Membimbing manusia agar berakhlak baik, dan melarang berakhlak munafik.
6. Membimbing manusia agar menjadi orang yang pintar dan mampu menjadi pemimpin yang tidak menyesatkan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu adalah menumbuhkan kemampuan dalam mengembangkan tiga kekuatan rohaniah pokok pada manusia (trichotomi), yaitu untuk dapat berkomunikasi secara baik dengan Tuhannya, dengan sesamanya, maupun dengan alam sekitarnya.

Kemampuan berkomunikasi dengan Tuhan, manusia dan alam sekitarnya yang bermakna demikian luas itulah tampak yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan dalam proses berkomunikasi dengan tiga aspek itu, al-Qur’an dan al-Sunnah dilandasi dengan akhlak yang baik.

2. Percikan Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pandangannya terhadap dunia pendidikan, Imam al-Ghazali lebih banyak berorientasi pada penekanan bathiniyah (aspek afektif) daripada berorientasi pada pengetahuan inderawi belaka. Hal ini tampak dari buah karyanya seperti “Fatihat al- Kitab”, “Ayyuh al-Walad” dan “Ihya Ulumuddin”.

Imam al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Hal ini terlihat dari tujuan-tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni:
(1) Insan Purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan
(2) Insan Purna yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Di samping itu, terdapat hal yang penting mendapat perhatian dalam mengkaji pemikiran Imam al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini, yaitu pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum sesuai dengan proporsinya serta minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan itu cenderung sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah. Karena menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan pentingnya menanamkan nilai moralitas yang dibangun dari sendiri-sendi akhlak Islam.

Namun demikian, al-Ghazali menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan hidup manusia. Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, merupakan pendorong ketabahan di saat dalam kekurangan dan kesukaran. Sedemikian agung Imam al-Ghazali memandang ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan Islam pada masa kini dan yang akan datang, sehingga Abdul Razak Naufal menyebut Imam al-Ghazali sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan tentang kejiwaan (Psikologi) di dunia ini. Hal ini sejalan dengan corak dan filsafat pendidikannya yang bersifat sufistik atau kerohanian itu.

Lebih spesifiknya pandang al-Ghazali tentang pendidikan itu antara lain dinyatakan: “Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi …” “…Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”

Menurut analisis Abidin Ibnu Rusn, Kata “hasil”, seperti tertera dalam kutipan pertama di atas, adalah menunjukkan pada proses, dan kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan pada tujuan. Dan kata “ilmu” menunjukkan pada alat. Sedangkan pada kutipan kedua di atas merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.

Dengan demikian pandangan al-Ghazali mengenai pendidikan Islam itu adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan berkakti kepadaNya. Sehingga dalam pandangan al-Ghazali dinyatakan bahwa manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak bermoral, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang dalam hidupnya akan susah. Demikian pula orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya sebagai orang yang binasa. Pandangan ini berdasarkan penyataan Abu Darda, salah seorang sahabat Nabi, yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya:
Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebaikan. Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak masuk salah seorang dari ketiga itu), maka binasalah engkau”.

Berdasarkan pernyataan ini al-Ghazali menekankan betapa pentingnya manusia itu berilmu dan ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dengan kata lain, al- Ghazali menghendaki bahwa pendidikan itu menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam. Karena Islam menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat manusia. Dan dengan pendidikan itu pula umat Islam dapat berproses hingga mencapai predikat sebagai insan kamil, yakni manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi, yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh Islam.

3. Pandangan al-Ghazali tentang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan yang boleh dikatakan sebagai bentuk rekayasa sosial (social engeneering) yang telah dicanangkan oleh ajaran Islam dalam pembentukan masyarakat yang bermartabat sebagai kebalikan dari masyarakat Jahiliyah, maka sudah tentu sumbernya adalah dari ajaran Islam itu sendiri, yakni dari al-Qur’an dan al-Sunnah telah disepakati oleh umat Islam (ijma jamai’) sebagai sumber pokok ajaran Islam.

Berangkat dari pemikiran ini, al-Ghazali yang dikenal luas sebagai Hujjah al- Islam, dan telah bergumul langsung dengan pendidikan Islam itu, pemikirannya tentang pendidikan dapat dicermati dalam kedua bukunya: Ihya’ Ulum al-Din dan Ayyuh al- Walad.

Dalam kedua buku ini, al-Ghazali menekankan pemikiran pendidikan itu harus mengedepankan pembersihan jiwa dari noda-noda akhlak dan sifat tercela. Sebab, ilmu itu merupakan bentuk ibadah hati, shalatnya nurani dan pendekatan jiwa menuju Allah SWT”. Pandangan sufistik demikian itu, tampak berangkat dari krisis kepercayaan al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional sebelumnya yang digumuli oleh al-Ghazali, seperti kalam dan filsafat yang tidak memuaskan aspek religinya.

Al-Ghazali memformulasikan teori kependidikannya dalam karya Ayyuh al-Walad. Namun prinsip-prinsip pokok pendidikan di karya ini banyak yang sudah diungkapannya dalam karya Ihya', sehingga sebagian yang ada dalam Ayyuh al-Walad itu hanya merupakan pengulangan terhadap apa yang telah ada dalam Ihya'.

Pembicaraan al-Ghazali mengenai pendidikan yang terdapat dalam Ihya' berkisar
pada tiga hal pokok:
1. Penjelasan tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan
2. Pengklasifikasian ilmu-ilmu yang termasuk ke dalam program kurikuler.
3. Kode etik bagi pendidik (guru) dan peserta didik.

Terkait dengan hal pertama, al-Ghazali memaparkan serangkaian ar-gumenargumen naqli dan aqli. Argumen-argumen naqli yang dikemukakan-nya mempunyai kesamaan dengan argumen-argumen naqli yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Muslim lain dalam karya-karya mereka, karena memang bersumber dari al-Qur’an, Hadis dan pendapat para pakar yang sama.

Adapun argumen-argumen naqli yang dikemukakannya banyak ber-beda dengan ahli pendidikan lain; argumen-argumen naqlinya berorientasi pada tujuan tunggal berupa pengarahan individu menuju kedekatan diri dengan Allah. Dikatakannya, “… karena dunia merupakan sawah ladang bagi akhirat; ia adalah wahana pengantar menuju Allah bagi orang-orang yang memang menjadikannya sebagai alat dan sarana, tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal dan tujuan.”

Dengan kerangka pikir semacam itu, al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan itu merupakan keutamaan bernilai manfaat yang bersifat internal, sehingga ia dicari karena manfaat internalnya dan ia merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan di akhirat.

Selain itu, ia juga merupakan “jalan” utama yang mengantarkan seseorang dekat dengan Allah semulia-mulianya segala sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang dekat dengan-Nya. Untuk bisa dekat dengan Allah seseorang perlu beramal dan seseorang tidak dapat beramal dengan baik dan benar kecuali dengan ilmu pengetahuan mengenai bagaimana cara beramal. Jadi, pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhir adalah ilmu, sehingga merupakan amal yang terbaik. Sesuatu dapat diketahui kadar keutamaannya melalui akibat (manfaat) yang ditimbulkan; sementara sudah dimaklumi bahwa manfaat ilmu adalah kedekatan diri dengan Allah, para malaikat dan kalangan orang-orang mulia lainnya di akhirat.

Adapun di dunia, (hal yang bisa diraih dengan ilmu) adalah kemuliaan, kahormatan dan kewibawaan, bahkan dari kalangan masyarakat pun, menghormati dan memuliakan guru-guru mereka lantaran keilmuan yang dimiliki. Tidak hanya itu, hewan pun tunduk kepada manusia lantaran memandang manusia lebih tinggi tingkatannya.

Inilah keutamaan ilmu secara umum. Memang ada perbedaan dan hirarki keilmuan yang berimplikasi pada variasi keutamaan masing-masing. Bila ilmu merupakan hal yang paling mulia, maka mempelajari ilmu berarti menuntut sesuatu yang utama, dan mengajar tujuan pokok hidup kita bermuara pada lingkup agama dan dunia. Harmoni agama memerlukan har-moni “sawah ladang” akhirat (dunia) yang merupakan sarana menuju Allah yang menjadikannya sebagai alat dan media, bukan bagi orang yang menjadi-kannya sebagai orientasi dan tujuan hidup. Dan urusan dunia hanya dapat diatur bila ada karya usaha (amal) manusia.

Dan pemikiran al-Ghazali tentang keutamaan orang yang berilmu itu, terdapat relevansinya dengan firman Allah, misalnya ayat yang menyatakan, artinya:…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-Mujadalah, 58: 11).

Bahkan orang yang mengabdikan dirinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dipandang oleh Allah sebagai bentuk inventasi masa depan di akhirat kelak. Allah menyatakan: “Barangsiapa yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Q.S. al-Hadid, 57: 11).

Itu sebabnya, karya usaha (profesi) termulia setelah profesi kenabian adalah mengajarkan ilmu, membersihkan jiwa manusia dari akhlak tercela dan merusak dan membimbing mereka menuju akhlak terpuji dan menyejah-terakan. Profesi inilah yang disebut al-Ghazali dengan ta’lim.(pengajaran). Menurut Muhammad Jawwad Ridha,mengurai alasan profesi ini sebagai profesi termulia menurut al-Ghazali itu adalah berdasar tiga hal. Yang merupakan parameter penilaian suatu profesi:

1. Intrumen daya insani yang dipergunakannya. Ilmu pengetahuan intelektual lebih utama dibandingkan ilmu pengetahuan kebahasaan, karena yang pertama menggunakan instrumen daya insani akal, sedangkan yang kedua menggunakan instrumen daya insani sama’. Akal lebih utama dibandingkan dengan sama’
2. Scop kemanfaatannya seperti keutamaan pertanian atas penyablonan.
3. Objek yang digarapnya, seperti keutamaan penyepuhan atas penyamakan, karena yang pertama objeknya adalah emas, sedangkan yang kedua objeknya adalah kulit.

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan menuju akhirat hanya dapat diperoleh dengan menggunakan kesempurnaan akal dan kejernihan pikir. Akal adalah instumen daya insani yang termulia karena dengannyalah manusia menerima amanat dari Allah dan dengannya juga manusia mendekatkan diri kepadaNya.

Dalam hubungannya dengan kurikulum, al-Ghazali membagi ragam ilmu (sebagai program kurikuler) menjadi dua bagian: Ilmu yang pardu ‘ain dan Ilmu yang pardu kifayah. Sedangkan dalam hubungannya dengan ilmu yang pardu ‘ain, ia membaginya menjadi: Ilmu mu’amalah (empiris praktis) dan Ilmu mukasyafah.

Dalam kitab Ihya, al-Ghazali menuturkan beberapa kewajiban pendidik dan peserta didik yang disebutnya sebagai “kode etik pendidikan ditemukan ada beberapa konklusi edukatif yang mencirikan pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya, antara lain sebagai berikut:
1. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridla Allah. Karena, ilmu berfungsi membersihkan jiwa manusia dari ambisi dan tujuan yang rendah. Ilmu menyeru pada keluhuran jiwa dan kemuliaan rohani.
2. Kode etik tersebut memperkuat teori ilmu ilhami yang oleh al-Ghazali dijadikan sebagai landasan teori pendidikannya. Pada banyak tempat ia menandaskan, bahwa ilmu adalah cahaya yang dilimpahkan Allah ke dalam hati manusia.
3. Peneguhan tujuan agamawi dalam kegiatan menuntut ilmu. Bahkan tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
4. Terdapat poin penting berupa pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah. Al-Ghazali menegaskan, “Ilmu merupakan keutamaan pada dirinya sendiri tanpa syarat. Sebab, ia adalah atribut kesempurnaan yang dimiliki Allah dan dengannya pula para Malaikat dan para Nabi menjadi mulia”.

Al-Ghazali juga berpandangan “idealistik” terhadap profesi guru. Idealisasi guru, menurutnya, adalah orang yang berilmu, beramal dan mengajar. Orang seperti ini adalah gambaran orang yang terhormat di kolong langit. Dari sini al-Ghazali menekankan perlunya keterpaduan ilmu dengan amal. Ia menyerupakan guru sejati dengan matahari yang menyinari sekelilingnya, dan dengan minyak wangi (misk) yang membuat harum di sekitarnya. Adapun orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya, maka ia ibarat lembar kertas yang bermanfaat bagi lainnya, namun dirinya sendiri kosong. Atau ibarat jarum yang menjahit baju untuk yang lain, sementara dirinya sendiri justru telanjang. Atau ibarat lilin yang menerangi lainnya, namun dirinya sendiri justru meleleh terbakar.

Berangkat dari perspektif idealistik profesi guru tersebut, al-Ghazali menandaskan bahwa orang yang sibuk mengajar merupakan orang yang “bergelut” dengan sesuatu yang amat penting. Sehingga ia perlu menjaga etiket dan kode etik profesinya.

Demikianlah prinsip-prinsip umum yang dikemukakan al-Ghazali ber-kenaan dengan teori pendidikannya dalam kitab Ihya’. Namun demikian, konsep filosofis pendidikannya tampak lebih banyak tertuang dalam kitab Ayyu al-Walad. Risalah Ayyuh al-Walad, dalam bentuknya yang ringkas itu, terdiri dari pengantar dan enam bagian pembahasan. Bagian pengantar merupakan prolog yang berisi seputar nasihat dan perdebatan para filosof tentang tujuan ilmu, kaitan ilmu dengan amal, ilmu sebagai ketaatan dan ibadah sebagai pelaksanaan tuntunan syara’.

Bagian pertama meliputi pembahasan tentang kebenaran i’tikad, taubat, usaha menjauhi debat kusir dalam masalah ilmu dan perolehan ilmu syar’i. Sementara bagian kedua berisi seputar amal salih, pelatihan jiwa, remehnya dunia, pembersihan jiwa dari sifat rakus (tamak) dan perlawanan terhadap syetan.

Adapun bagian ketiga berisi tentang seputar pendidikan, yaitu terkait dengan pentingnya pengikisan akhlak tercela dan penanaman akhlak terpuji. Bagian keempat mengulas tentang etika peserta didik yang banyak kesamaan-nya dengan paparan al- Ghazali dalam kitab Ihya’. Sementara bagian kelima memuat topik perihal penganut sufi sejati, syarat-syarat keistiqamahan ber-sama Allah dan ketenangan (al-sukun) bersama makhluk. Sedangkan bagian keenam oleh al-Ghazali diisi dengan beberapa nasihat penting bagi para peserta didik.

Keharusan mereka memadukan antara ilmu dan amal; larangan berdebat kecuali untuk tujuan mencari kebenaran; larangan terlalu “intim” dengan para penguasa; larangan untuk menerima hadiah dari mereka, karena “keintiman” yang seharusnya hanyalah dengan Allah dan dengan sesuatu yang diridlai-Nya melalui ketekunan dalam berbuat kebaikan.

4. Relevansi Pandangan al-Ghazali bagi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Islam Dewasa Ini

Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dinilai dari out put-nya, yakni orang-orang sebagai produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang dapat bertanggung jawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, maka pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil.

Sebalilknya, bila out put-nya adalah adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas
hidupnya, pendidikan tersebut dianggap mengalami kegagalan.Ciri-ciri utama dari kegagalan suatu proses itu ialah, manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dibandingkan dengan orang yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian itu seperti terlihat dewasa ini, kemudian melahirkan berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Hanya karena ingin mendapat kerja yang layak, kemudian secara kondisional orang terpaksa
menyuap.

Sebaliknya, orang yang tidak dapat bekerja yang dianggap sesuai dengan pendidikannya, juga melakukan tindak budaya yang lebih tidak sehat lagi, misalnya, mencuri dan tindakan negatif lainnya.

Secara inplisit al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan itu adalah dalam upaya membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai sesama manusia. Hal ini misalnya terlihat dalam nasihat yang diberikan oleh al-Ghazali, yang diungkapkannya dalam uraian akhir buku Ayyuh al-Walad.

Untuk mewujudkan insan sempurna (insan kamil) seperti itulah tampaknya yang menjadi tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali, yakni melalui pendidikan akal, pendidikan kejiwaan (afeksi) dan pendidikan jasmani atau lebih dikenal dengan sebutan pendidikan keterampilan.

Dalam sudut pandang Ilmu Pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan mendidik akal manusia agar dapat berpikir dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, akal yang tidak mendapatkan pendidikan akan berakibat langsung ataupun tidak langsung kepada pemiliknya untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya.

Adapun mengenai pendidikan hati seperti dikemukakan oleh al-Ghazali di atas, adalah merupakan suatu keharusan bagi setiap insan. Dengan demikian keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya adalah mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk wujud pribadi manusia paripurna, berbahagia di dunia dan di akhirat kelak.

Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan kepada pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.

Demikian pula secara umum, pandangan al-Ghazali tentang pendidikan Islam, tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan al-Ghazali tentang ilmu misalnya, Nampak tidak dikotomi seperti sekarang ini ada ilmu agama dan ilmu umum seperti itu. Sehingga dari segi kualitas intelektual, secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain.

Hal ini barangkali salah satu dari akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomis seperti itu.

D. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali adalah sarana perekayasaan sosial bagi umat Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insan kamil, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dalam arti kualitatif, dan kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Pencapaian kesempurnaan hidup melalui proses pendidikan itu juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

2. Materi pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali yang berdasarkan al-Qur’an dan al- Sunnah itu ialah berisikan tentang berbagai macam ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, dengan itu ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya, dan dengan begitu si penuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.Namun yang menjadi prioritas materi yang terpenting dari pendidikan Islam itu adalah bidang akhlak.

3. Metode pendidikan Islam menurut Imam al-Ghazali yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah ialah mengandung pengertian yang sangat luas. Tidak hanya di tafsirkan sebagai kegiatan mengajar saja kepada anak didik, namun lebih dari itu yang dimaksudkan dengan metode pendidikan menurut Imam Al-Ghazali ini adalah juga menjadikan guru (al-mu’allim) sebagai figur sentral untuk dapat dijadikan teladan bagi anak didiknya.

Dalam hal ini, metode pendidikan yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali adalah sejenis pendidikan guru atau pelatihan guru (teacher education or trainning). Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, berikut ini beberapa implikasi bagi pengembangan pendidikan Islam, antara lain sebagai sebagai berikut:

1. Pendidikan agama Islam sebagai suatu sistem hendaklah diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat terdiri dari berbagai komponen yang saling menunjang, tidak dipisah-pisahkan.
2. Untuk memahami tentang sistem pendidikan agama Islam dengan baik dan benar hendaknya merujuk kepada acuan nilai yang mendasarinya, yaitu al-Qur’an dan al- Sunnah supaya terhindar dari kekeliruan yang dibuat.
3. Di samping penelaahan terhadap acuan nilai tersebut, diperlukan pula acuan lainnya, seperti para pemikir pendidikan muslim lainnya, seperti Imam al-Ghazali. Oleh karena itu pemikiran Imam al-Ghazali mengenai pendidikan Islam hendaknya dapat juga dijadikan sandaran bagi pengembangan pendidikan itu, baik pendidikan yang bersirikan agama maupun non agama. Dan bahkan al-Ghazali tidak membedakan sama sekali ilmu-ilmu itu. Karena baginya ilmu adalah alat untuk mencapai
keridhaan Allah.

4. Upaya untuk mengaktualisasikan pemikiran Imam al-Ghazali mengenai pendidikan hendaknya diambil dari sumber rujukannya yang asli untuk menjaga keorsinilan pemikiran tersebut. Dengan demikian, pemikiran Imam al-Ghazali ini hendaknya dijadikan rujukan bagi pengembangan ilmu pendidikan di masa sekarang dan yang akan datang, terutama pengembangan pendidikan bagi masyarakat Islam, yang kualitasnya tidak pernah bisa mencapai ukuran berhasil yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Shaleh., Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al- Qur’an serta Implementasinya, Bandung: Duponegoro, 1991.

Abdul Baqi, Muhammad Fuad., al-Lu’lu wal Marjan jilid 2, terjemahan Indonesia oleh H. Salim Bahresy, Surabaya: Bina Ilmu, 1996.

Ahmad As-Sayid, Mahmud., Mendidik Generasi Qur’ani, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1991.

Ahmad Hidayat, Pengembangan Pendidikan Islam Menurut Imam Ghazali, Bandung: Puslit, 1997.
Ahmad, Jamil., Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Ahmadi Rn., Ali., Artikel: “Bimbingan Akhlak Muslim” dalam Majalah Media Da’wah, Jakarta: DDII, 1987.

Ali, Hamdani., Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka kembang, 1987.

An-Nahlawi, Abdurrahman., Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989.

Anshari, H.E. Saefudin., Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Al-Asqalani, Ibnu Hajjar., Fath al-Bari, juz VI & XII, T.tp.: Dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, T.tp.

Al-Ghanimi al-Taftazani, Abu al-Wafa’., Sufi dari Zaman ke zaman, Bandung: Pustaka, 1974.

Al-Ghazali, Imam., al-Munqidz min al-Dhalal, Istambul: Darussafeka, T.th.
-----------, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid I, al-Nasir Se-rikat an-Nur Asia, T.tp., T.th.
-----------, Ayyuh al-Walad, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, T.th.,

Al-Jurjani, Ali., al-Ta’rifat., Singapore: al-Haramain T.th.

Al-Mawla, Mohammad Jad., al-Khuluq al-Kamil, Kairo: al-Maktabah, 1971

Al-Thohar Ben ‘Asyur, Syaikh Muhammad., Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah, 1984.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar